Kenapa Hidup Berkelanjutan Itu Penting? Ini Jawaban dan Langkah Nyatanya !
Halo, Saya Tryswid, blogger yang suka berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar pendidikan, sains dan gaya hidup. Blog ini saya buat sejak tahun 2008 sebagai tempat belajar dan berbagi hal-hal menarik tentang dunia kita. Terima kasih sudah berkunjung semoga tulisan di sini bermanfaat buat kalian semua. Salam hangat, Tryswid
Ketika
Tradisi Menjadi Tameng Iklim
Perubahan iklim telah memicu krisis global: kenaikan suhu,
cuaca ekstrem, dan ancaman kelangkaan pangan. Di tengah gempuran
modernisasi, masyarakat adat Indonesia justru menunjukkan ketahanan luar
biasa dengan menggali kembali kearifan lokal. Data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, wilayah adat mengalami 30% lebih
sedikit kerusakan lingkungan dibanding kawasan industri pada bencana 2021–2024.
Bagaimana mereka bertahan?

Masyarakat Adat (Pexels.com/Noel Snpr)
Kearifan
Lokal yang Teruji Waktu
1. Sistem "Sasi" di Maluku: Larangan Sakral
untuk Regenerasi Sumber Daya
Masyarakat Suku Haruku di Maluku menerapkan Sasi—larangan
adat memanen hasil laut/hutan dalam periode tertentu. Saat terumbu karang
global rusak 14% (UNEP, 2024), wilayah Sasi justru menunjukkan peningkatan
keanekaragaman hayati 20%. Contoh:
2. "Huma" di Sunda: Pertanian Berkelanjutan
Tahan Kekeringan
Suku Baduy Dalam di Banten mempertahankan
sistem Huma—ladang berpindah dengan masa istirahat tanah 5–7 tahun. Saat
El Niño 2023 memicu kekeringan parah, sawah modern di Jawa Barat gagal panen
40%, tapi ladang Huma tetap produktif.
3. "Molo" di NTT: Konservasi Air Berbasis
Komunitas
Di Flores, Suku Molo membangun embung
tradisional (waduk mini) dan larangan menebang pohon di hulu sungai.
Saat NTT dilanda krisis air 2024, desa adat Molo masih memiliki cadangan air
bersih.
Tantangan
di Tengah Modernisasi
Meski efektif, kearifan lokal terancam:
Kearifan
Lokal & Sains Modern
Inisiatif kolaborasi mulai bermunculan:
Kata
Mereka yang Bertahan
"Kami tak punya data satelit, tapi daun trembesi yang
menguning di musim kemarau sudah jadi alarm bagi kami untuk menyimpan
air."
— Mama Aleta Baun (Suku Molo), penerima Goldman Environmental Prize 2025.
"Adaptasi iklim terbaik adalah mendengar suara mereka
yang hidup harmonis dengan alam selama ribuan tahun."
— Prof. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Merajut
Kembali Hubungan Manusia dan Alam
Kearifan lokal masyarakat adat bukan sekadar romantisme masa
lalu, melainkan solusi praktis berbasis ekosistem (nature-based
solution) yang teruji. Studi Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) 2024 menegaskan: integrasi pengetahuan tradisional dan sains modern
adalah kunci ketahanan iklim. Di tengah krisis ekologis, Indonesia punya harta
karun yang tak ternilai: kebijaksanaan nenek moyang yang relevan untuk
masa depan.
Sumber Referensi:
Komentar