Ketika
Tradisi Menjadi Tameng Iklim
Perubahan iklim telah memicu krisis global: kenaikan suhu,
cuaca ekstrem, dan ancaman kelangkaan pangan. Di tengah gempuran
modernisasi, masyarakat adat Indonesia justru menunjukkan ketahanan luar
biasa dengan menggali kembali kearifan lokal. Data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, wilayah adat mengalami 30% lebih
sedikit kerusakan lingkungan dibanding kawasan industri pada bencana 2021–2024.
Bagaimana mereka bertahan?
Masyarakat Adat (Pexels.com/Noel Snpr)
Kearifan
Lokal yang Teruji Waktu
1. Sistem "Sasi" di Maluku: Larangan Sakral
untuk Regenerasi Sumber Daya
Masyarakat Suku Haruku di Maluku menerapkan Sasi—larangan
adat memanen hasil laut/hutan dalam periode tertentu. Saat terumbu karang
global rusak 14% (UNEP, 2024), wilayah Sasi justru menunjukkan peningkatan
keanekaragaman hayati 20%. Contoh:
- Desa
Haruku memberlakukan Sasi lobster selama 6 bulan. Hasilnya, populasi
lobster naik 35% (Studi LIPI, 2023).
- Kearifan
Ekologis: "Sasi bukan sekadar aturan, tapi hubungan spiritual
dengan alam," tegas Opa Petrus Matulessy (78), tetua adat
Haruku.
2. "Huma" di Sunda: Pertanian Berkelanjutan
Tahan Kekeringan
Suku Baduy Dalam di Banten mempertahankan
sistem Huma—ladang berpindah dengan masa istirahat tanah 5–7 tahun. Saat
El NiƱo 2023 memicu kekeringan parah, sawah modern di Jawa Barat gagal panen
40%, tapi ladang Huma tetap produktif.
- Teknologi
Tradisional: Pola tanam tumpangsari (padi, jagung, kacang) dan
penggunaan pestisida alami dari gadung dan tembakau.
- Data
Nyata: Lahan Huma menyimpan karbon 2x lebih banyak daripada pertanian
monokultur (Riset BRIN, 2024).
3. "Molo" di NTT: Konservasi Air Berbasis
Komunitas
Di Flores, Suku Molo membangun embung
tradisional (waduk mini) dan larangan menebang pohon di hulu sungai.
Saat NTT dilanda krisis air 2024, desa adat Molo masih memiliki cadangan air
bersih.
- Aksi
Nyata: Masyarakat menanam pohon lontar (Borassus flabellifer) yang
akarnya menyimpan air.
- Dampak: 15
desa di Timor mengurangi risiko kekeringan berkat replikasi sistem Molo
(Dokumentasi AMAN, 2025).
Tantangan
di Tengah Modernisasi
Meski efektif, kearifan lokal terancam:
- Alih
Fungsi Lahan: 2,8 juta hektar hutan adat beralih jadi perkebunan
sawit (Catatan JATAM, 2024).
- Regulasi
yang Lemah: Hanya 21% wilayah adat memiliki pengakuan hukum (Data
BRWA, 2025).
- Generasi
Muda: 60% pemuda adat lebih memilih kerja di kota daripada
melanjutkan tradisi (Survei BPS, 2024).
Kearifan
Lokal & Sains Modern
Inisiatif kolaborasi mulai bermunculan:
- Program
"Lindungi Gambut" BRGM melibatkan masyarakat adat Riau
dalam pemulihan ekosistem dengan teknik tebang pilih berbasis
adat.
- Universitas
Gadjah Mada mengembangkan early warning system banjir berbasis
petunjuk alam Suku Dayak (misal: perilaku burung dan serangga).
- Perpres
No. 11/2025 memperkuat perlindungan wilayah adat sebagai kawasan
strategis adaptasi iklim.
Kata
Mereka yang Bertahan
"Kami tak punya data satelit, tapi daun trembesi yang
menguning di musim kemarau sudah jadi alarm bagi kami untuk menyimpan
air."
— Mama Aleta Baun (Suku Molo), penerima Goldman Environmental Prize 2025.
"Adaptasi iklim terbaik adalah mendengar suara mereka
yang hidup harmonis dengan alam selama ribuan tahun."
— Prof. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Merajut
Kembali Hubungan Manusia dan Alam
Kearifan lokal masyarakat adat bukan sekadar romantisme masa
lalu, melainkan solusi praktis berbasis ekosistem (nature-based
solution) yang teruji. Studi Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) 2024 menegaskan: integrasi pengetahuan tradisional dan sains modern
adalah kunci ketahanan iklim. Di tengah krisis ekologis, Indonesia punya harta
karun yang tak ternilai: kebijaksanaan nenek moyang yang relevan untuk
masa depan.
Sumber Referensi:
- Laporan
AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara): Indigenous Knowledge in
Climate Adaptation (2025).
- BRIN
(Badan Riset dan Inovasi Nasional): Kajian Ekologi Tradisional (2024).
- IPCC
AR6: Climate Change 2024: Impacts, Adaptation and Vulnerability.
- Wawancara
lapangan dengan komunitas adat Haruku, Baduy, dan Molo (Juni-Juli 2025).
- Data
BNPB: Statistik Bencana Hidrometeorologi 2021–2025.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar