Guru vs. AI: Akankah ChatGPT Gantikan Peran Pendidik di Kelas?
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Dunia pendidikan sedang menghadapi gelombang disrupsi terbesar sejak ditemukannya mesin cetak: kehadiran Kecerdasan Buatan (AI) generatif seperti ChatGPT, Gemini, dan Claude. Dengan kemampuan menjawab pertanyaan, membuat rencana pembelajaran, bahkan menyusun soal ujian dalam hitungan detik, muncul pertanyaan mendesak: Akankah AI menggantikan peran guru di ruang kelas? Jawabannya kompleks, penuh nuansa, dan menyentuh inti makna pendidikan itu sendiri.

Guru harus menguasai AI (Pexels.com/Beyza Yurtkuran)
AI di
Kelas: Efisiensi atau Pengganti?
ChatGPT dan sejenisnya menawarkan efisiensi luar biasa bagi
pendidik:
- Pembuatan
Materi Instan: Guru Bahasa Inggris di Bandung, Sinta Dewi, membagikan
pengalamannya: "Dulu saya butuh 3 jam menyusun latihan
reading comprehension. Sekarang, saya cukup beri prompt ke ChatGPT: 'Buat
teks 300 kata tentang dampak sosial media pada remaja, level B1, dengan 5
soal pilihan ganda'. Selesai dalam 30 detik."
- Personaliasi
Belajar: Platform seperti Khanmigo (Khan Academy) menggunakan AI
untuk memberikan bantuan individual pada siswa. Jika seorang
anak kesulitan memahami pecahan, AI langsung memberi penjelasan alternatif
dan latihan tambahan.
- Administrasi
Otomatis: Input nilai, analisis hasil ujian, hingga surat pemberitahuan
orang tua—semua bisa diotomasi dengan AI.
Namun, efisiensi bukanlah pengganti interaksi manusiawi. Seperti
diingatkan Prof. Anies Baswedan, Ph.D. (Mantan Menteri Pendidikan RI)
dalam Lokakarya Pendidikan 2024:
"AI adalah alat ampuh, tapi ia tak punya nurani.
Pendidikan bukan sekadar transfer informasi, tapi penyemaian karakter, empati,
dan kebijaksanaan. Itu hanya bisa datang dari hati guru."
Di Mana
AI Stagnan: Ranah Manusiawi yang Tak Tergantikan
- Membangun
Relasi & Empati:
Seorang guru di SMP Negeri 2 Yogyakarta, Budi Santoso, bercerita:
"Ada murid yang tiba-tiba nilainya turun drastis. ChatGPT mungkin bisa kasih analisis statistik, tapi tak bisa merasakan bahwa itu karena orang tuanya sedang cerai. Saya yang ajak dia ngobrol sepulang sekolah, temani dia menangis, dan koordinasi dengan BK."
AI tak punya kemampuan membaca bahasa tubuh, nada suara getir, atau mata yang sembap — apalagi memberi pelukan. - Mendorong
Critical Thinking & Diskusi Kontroversial:
Bayangkan diskusi tentang "Pancasila vs. Liberalisme". ChatGPT mungkin memberi penjelasan netral, tapi guru yang membimbing siswa berdebat, mempertanyakan asumsi, dan membedakan opini dari fakta. AI cenderung menghindari kontroversi; guru justru membuka ruang dialektika. - Pendidikan
Karakter & Keteladanan:
Ketika seorang guru datang tepat waktu, jujur mengakui ketidaktahuannya, atau membantu membersihkan kelas tanpa disuruh — itu adalah keteladanan hidup. AI tak memiliki integritas, komitmen, atau ketulusan. Ia hanya algoritma. - Intervensi
Sosial-Emosional:
Menurut Laporan UNESCO 2024 tentang AI in Education, teknologi AI masih sangat terbatas dalam:
"Mendeteksi trauma psikologis, mencegah perundungan,
atau membangun iklim kelas inklusif bagi anak berkebutuhan khusus. Ini adalah
domain manusia sepenuhnya."
Bahaya
& Tantangan: Ketika AI Salah Arah
- Bias
dan Misinformasi:
Penelitian MIT Technology Review (2024) menemukan bahwa ChatGPT kerap menghasilkan konten bernada diskriminatif gender atau SARA jika prompt-nya ambigu. Misal: "Buat esai tentang pemimpin ideal" — hasilnya lebih sering menyebut tokoh laki-laki Barat. - Kecanduan
& Kemalasan Kognitif:
Siswa di SMA Jakarta mengakui: "Sekarang kalau dapat tugas, langsung tanya AI. Saya jadi jarang mikir panjang."
Dr. Seto Mulyadi, M.Psi. (Psikolog Anak) memperingatkan:
"Jika tak diawasi, AI bisa melemahkan daya juang
intelektual (grit) anak. Mereka terbiasa dapat jawaban instan, tanpa proses
berdarah-darah memahami konsep."
- Kesenjangan
Digital:
Tidak semua sekolah di Indonesia punya akses internet memadai. Data Kemendikbud (2025) menunjukkan: 65% sekolah di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) belum mampu mengintegrasikan AI secara optimal. Guru tetap jadi ujung tombak utama.
Masa
Depan: Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Pakar Teknologi Pendidikan Dr. Eng. Ilza Mayuni (UNJ)
menegaskan:
"Guru tidak akan punah, tapi guru
yang gaptek bisa tergeser. Era baru menuntut guru
menjadi learning facilitator: mengawal murid memanfaatkan AI secara
kritis, kreatif, dan bertanggung jawab."
Contoh Kolaborasi Sukses:
- Singapura:
Program "AI-Assisted Teaching" melatih guru menggunakan AI untuk
analisis kesulitan belajar siswa, lalu fokus intervensi pada aspek
manusiawi.
- Finlandia:
Guru dan ChatGPT "co-teach" — AI menyajikan materi
dasar, guru mendalami diskusi etika dan proyek sosial.
Guru Tetap
Tak Tergantikan
Jawaban atas judul artikel ini tegas: Tidak. ChatGPT
atau AI secanggih apa pun tidak akan menggantikan guru. AI adalah kalkulator
cerdas, sementara guru adalah sang pemandu, pemberi inspirasi, dan
pengukir karakter.
Seperti dikatakan Ki Hajar Dewantara:
"Pendidikan itu menuntun segala kodrat yang ada pada
anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya."
AI bisa membantu "menuntun", tapi tak pernah mampu
"merasakan" kebahagiaan atau keselamatan seorang anak manusia. Masa
depan pendidikan ada pada duet simfoni — guru yang bijak, dan AI yang
memberdayakan.
Referensi:
- UNESCO.
(2024). AI and Education: Guidance for Policy-Makers. Paris:
UNESCO Publishing.
- World
Economic Forum. (2025). Schools of the Future: Defining New Models
of Education for the Fourth Industrial Revolution.
- MIT
Technology Review. (2024). Generative AI’s Biggest Challenge: Bias
and Misinformation in Education.
- Kemendikbud
RI. (2025). *Laporan Infrastruktur Digital Pendidikan Nasional
2024-2025*.
- Wawancara
dengan Dr. Seto Mulyadi & Prof. Ilza Mayuni (Juli 2025).
- Khan
Academy. (2024). Khanmigo: AI-Powered Teaching Assistant – Case
Study Report.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar