Guru PPPK, Platform Digital, & Akreditasi Baru: Trilogi Perubahan yang Menggetarkan Pendidikan Indonesia
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Lanskap pendidikan Indonesia saat ini dihadapkan pada tiga
transformasi besar yang berlangsung simultan: program rekrutmen masif Guru
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), gelombang adopsi platform
pembelajaran digital, dan penerapan sistem akreditasi satuan pendidikan
berbasis data yang revolusioner. Ketiganya bukan sekadar kebijakan di atas
kertas, melainkan realitas yang mengubah dinamika ruang kelas, manajemen
sekolah, dan kebijakan pendidikan secara nyata, membawa harapan sekaligus tantangan
multidimensi.
1. Guru PPPK: Solusi Kekurangan Guru yang Belum Tuntas
Mengatasi defisit guru berkualitas, khususnya di daerah
terpencil dan untuk mata pelajaran spesifik, menjadi prioritas. Pemerintah
merespons dengan rekrutmen Guru PPPK terbesar sepanjang sejarah. Data Badan
Kepegawaian Negara (BKN) hingga pertengahan 2025 mencatat lebih dari 1,2 juta
guru non-PNS telah berhasil lolos seleksi PPPK, dengan ratusan ribu diangkat
tiap tahunnya (Sumber: Kemendikbudristek, 2025).
Dampak Konkret:
- Penutup
Celah Staf Pengajar: Sekolah-sekolah di wilayah seperti Papua,
NTT, dan Kalimantan Tengah yang sebelumnya mengalami kekurangan guru parah
mulai mendapatkan tambahan tenaga pendidik. "Kondisi di mana satu
guru menangani tiga kelas sekaligus perlahan membaik. Meski belum
sempurna, beban guru berkurang," tutur Siti Aminah, Kepala SMP di
Manggarai Barat, NTT.
- Perbaikan
Taraf Ekonomi: Penyamaan gaji pokok Guru PPPK dengan PNS golongan
IIIa memberikan peningkatan signifikan bagi mantan guru honorer yang
bergaji rendah, meningkatkan semangat mengajar.
Persoalan yang Membayangi:
- Status
Kontrak Jangka Panjang: Meski kontrak diperpanjang terus, status
PPPK sebagai pegawai non-PNS tetap memicu kekhawatiran akan jaminan masa
depan, pensiun, dan kepastian hukum dibandingkan status PNS. "Kami
mengajar sepenuh hati, namun pertanyaan 'bagaimana jika kontrak tidak
diperpanjang?' selalu menghantui," ungkap Ahmad Fauzi, Guru PPPK
Matematika di Bekasi.
- Diskrepansi
dengan Rekan PNS: Di lapangan, masih terasa perbedaan dalam hal
tunjangan tertentu (misalnya tunjangan daerah terpencil) dan persepsi
status, menimbulkan kesenjangan psikologis dan finansial.
- Mekanisme
Rekrutmen yang Rumit: Lamanya proses mulai pendaftaran, seleksi,
hingga penetapan akhir sering dikeluhkan calon guru, menciptakan
ketidakpastian berkepanjangan.
Langkah Solutif:
- Pemerintah: Mempercepat
distribusi dan penetapan, menyederhanakan prosedur birokrasi, serta
mengevaluasi secara transparan skema jaminan pensiun dan kepastian hukum
jangka panjang.
- Sekolah: Mengikutsertakan
Guru PPPK secara penuh dalam seluruh aktivitas sekolah, memberikan
pendampingan adaptasi, serta menciptakan lingkungan kerja yang setara.
- Organisasi
Masyarakat: Mengawasi dan mendesak transparansi dalam proses
penempatan dan distribusi Guru PPPK, terutama di daerah tertinggal.
2. Platform Digital: Efisiensi yang Terhalang
Infrastruktur
Inisiatif Merdeka Belajar mendorong digitalisasi pendidikan.
Platform seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM), Rapor
Pendidikan, dan Kampus Merdeka menjadi infrastruktur
kunci. PMM, contohnya, diluncurkan Kemendikbudristek sebagai aplikasi serbaguna
berisi perangkat ajar, ruang kolaborasi, dan modul pelatihan.
Manfaat Signifikan:
- Demokratisasi
Materi Ajar: Guru di pelosok dapat mengakses modul, video
pembelajaran, dan instrumen asesmen berkualitas, seperti modul literasi
numerasi SD yang diunduh puluhan ribu kali.
- Jaringan
Kolaborasi & Peningkatan Kompetensi: Fitur komunitas dalam
PMM memfasilitasi pertukaran praktik baik antar guru lintas wilayah.
Pelatihan singkat berbasis mikrolearning menawarkan fleksibilitas.
- Data
Pendukung Kebijakan: Rapor Pendidikan menyajikan analisis hasil
Asesmen Nasional (AN) dan kondisi satuan pendidikan, menjadi landasan
perencanaan sekolah dan intervensi pemerintah.
Kendala Nyata:
- Kesenjangan
Infrastruktur Digital: "Platformnya canggih, tapi sinyal di
sini tidak stabil. Mengunduh satu modul bisa memakan waktu sejam,"
keluh Maria Goreti, guru SD di Pegunungan Bintang, Papua. Ketersediaan
listrik, jaringan internet, dan gawai memadai masih menjadi kendala utama
di banyak daerah 3T.
- Kesiapan
Literasi Digital Guru: Kemampuan menggunakan platform digital
belum merata di kalangan guru, terutama yang senior atau di daerah
terpencil. Pelatihan terbatas dan minimnya pendampingan teknis memperparah
situasi.
- Tambahan
Beban Administrasi: Sejumlah guru merasa kehadiran platform baru
justru menambah beban tugas administratif digital di luar tanggung jawab
mengajar utama. Integrasi antar-platform juga belum optimal.
Upaya Perbaikan:
- Pemerintah: Mempercepat
penyediaan infrastruktur digital dasar (listrik, internet) di 3T,
menyuplai perangkat pendukung (router, tablet) ke sekolah, serta
meningkatkan pelatihan blended (daring-luring) yang
praktis dan berkelanjutan.
- Pemerintah
Daerah: Menganggarkan dana khusus untuk penguatan infrastruktur
TIK sekolah dan pendampingan teknis guru.
- Sekolah: Membentuk
unit pendamping TIK, memanfaatkan forum komunitas untuk berbagi
keterampilan digital, dan mengalokasikan waktu khusus eksplorasi platform.
- Penyedia
Layanan Telekomunikasi: Melaksanakan program CSR untuk perluasan
jaringan dan paket internet terjangkau bagi pendidik dan sekolah.
3. Akreditasi Baru: Peralihan dari Formalitas ke Esensi
Mutu
Sistem akreditasi konvensional sering dikritik karena
prosedural, mahal, dan cenderung simbolis. Merespons hal ini, Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi dan Non-Formal (BAN-PNF) memperkenalkan Sistem
Akreditasi Baru (SAB) berbasis Data Rapor Pendidikan. Fokusnya bergeser ke
kualitas proses pembelajaran dan capaian belajar siswa yang terukur.
Inovasi Penting:
- Penilaian
Berbasis Bukti Obyektif: Asesmen utama bersumber dari Rapor
Pendidikan yang memuat data seperti hasil AN, tingkat
kesenjangan, karakter siswa, dan lingkungan belajar. Pengisian instrumen
(IASP) dilakukan daring, meminimalisir beban administratif fisik.
- Orientasi
Peningkatan Berkelanjutan: SAB dirancang bukan semata untuk
memberi label (A/B/C), melainkan sebagai alat diagnosis guna membantu
sekolah mengidentifikasi area perbaikan dan merencanakan peningkatan mutu
(Sumber: Buku Saku SAB, BAN-PNF, 2024).
- Prinsip
Keterbukaan: Hasil akreditasi dan data pendukungnya dapat diakses
publik via situs BAN-PNF, meningkatkan akuntabilitas.
Tantangan Implementasi:
- Pemahaman
yang Belum Merata: Filosofi dan mekanisme SAB belum sepenuhnya
dipahami oleh semua sekolah, terutama di daerah. Konsep "akreditasi
berbasis data" masih asing bagi sebagian kepala sekolah dan pengawas.
- Keandalan
dan Konsistensi Data: Akurasi dan kelengkapan data pada Rapor
Pendidikan menjadi krusial. Masalah ketidaksesuaian atau keterlambatan
penginputan data di tingkat sekolah berpotensi memengaruhi hasil
akreditasi.
- Kapasitas
Asesor: Pelatihan massif bagi asesor untuk memahami SAB dan
menilai berdasarkan data masih berlangsung, berpotensi menimbulkan variasi
penilaian di fase awal.
Inisiatif Pendukung:
- BAN-PNF/Kemendikbudristek: Melakukan
sosialisasi dan pelatihan intensif tentang SAB hingga ke tingkat akar
rumput. Memastikan platform Rapor Pendidikan stabil dan user-friendly.
- Dinas
Pendidikan: Membentuk tim fasilitator untuk membantu sekolah
memahami Rapor Pendidikan, mengisi IASP dengan benar, dan menyusun rencana
peningkatan mutu berdasarkan temuan akreditasi.
- Sekolah: Secara
proaktif memanfaatkan Rapor Pendidikan untuk evaluasi internal, memastikan
pengisian data akurat dan tepat waktu, serta memandang asesor sebagai
mitra peningkatan, bukan pengawas.
- Komite
Sekolah/Masyarakat: Memanfaatkan hasil akreditasi yang transparan
untuk berpartisipasi dalam pengawasan dan mendukung upaya peningkatan mutu
sekolah.
Penutup: Menavigasi Gelombang Perubahan dengan Gotong
Royong
Ketiga isu krusial ini—Guru PPPK, Platform Digital, dan
Akreditasi Baru—merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya monumental
meningkatkan mutu, pemerataan, dan relevansi pendidikan Indonesia. Keberhasilan
menghadapi "guncangan" transformatif ini bergantung pada:
- Konsistensi
Kebijakan dan Anggaran Pemerintah: Serta perbaikan sistem dan
pendampingan berkelanjutan hingga tingkat tapak.
- Peningkatan
Kapabilitas Seluruh Aktor Pendidikan: Guru, kepala sekolah,
pengawas, tenaga kependidikan, dan dinas di semua jenjang harus terus
beradaptasi dan belajar.
- Kemitraan
Erat: Antara pemerintah pusat, daerah, satuan pendidikan,
masyarakat, sektor swasta (khususnya penyedia infrastruktur digital), dan
organisasi pendidikan.
- Transparansi
dan Pertanggungjawaban Publik: Dalam penggunaan dana, proses
rekrutmen, implementasi platform, dan pelaksanaan akreditasi.
Gelombang perubahan ini memang mengguncang fondasi lama.
Namun, di baliknya tersembunyi peluang emas untuk membangun sistem pendidikan
Indonesia yang lebih tangguh, berkeadilan, dan berfokus pada capaian belajar
setiap peserta didik. Kunci utamanya adalah kolaborasi, adaptasi, dan fokus tak
tergoyahkan pada kualitas pembelajaran siswa. Masa depan pendidikan Indonesia
sedang dibentuk hari ini, di ruang kelas yang kini memiliki lebih banyak guru,
melalui interaksi di platform digital, dan dalam laporan akreditasi yang
mengutamakan kejujuran data. (*)
Referensi:
- Kemendikbudristek.
(2025). Laporan Realisasi Penempatan Guru PPPK (Dokumen
Internal).
- Badan
Pusat Statistik (BPS). (2024). Statistik Telekomunikasi Indonesia
2023.
- Bank
Dunia. (2023). Indonesia Economic Prospects: Learning More,
Growing Faster (Laporan khusus Pendidikan).
- Badan
Akreditasi Nasional - Pendidikan Non Formal (BAN-PNF). (2024). Buku
Saku Sistem Akreditasi Baru (SAB) Berbasis Data Rapor Pendidikan.
- Pusat
Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kemendikbudristek. (2025). Statistik
Pemanfaatan Platform Merdeka Mengajar.
- Wawancara
Lapangan dengan Pendidik & Kepala Sekolah di NTT dan Papua (Nama
disamarkan). (Juli 2025).
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Komentar