Literasi Digital Orang Tua, Menjaga Anak Aman di Dunia Pembelajaran Online
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Dunia pendidikan telah bertransformasi secara masif. Pembelajaran online, yang semula menjadi solusi darurat di masa pandemi, kini menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem pendidikan modern. Namun, di balik kemudahan akses ilmu pengetahuan, tersembunyi tantangan keamanan digital yang mengintai anak-anak kita. Di sinilah literasi digital orang tua bukan lagi sekadar pilihan, melainkan benteng pertahanan pertama yang krusial.
![]() |
| Belajar dengan pengawasan orang tua (Pexels.com/Pavel danilyuk) |
Ancaman Nyata di Balik Layar Belajar
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2024
mencatat peningkatan 37% laporan kasus eksploitasi anak online yang
bermula dari platform pembelajaran. Sementara survei Pew Research
Center (2023) menunjukkan 61% orang tua di Asia Tenggara merasa
kurang percaya diri dalam mengawasi aktivitas digital anak.
Contoh Kasus Nyata:
Seorang siswa SD di Bandung (nama disamarkan) hampir menjadi korban phishing setelah
mengklik tautan "tugas mendadak" di grup kelas palsu di aplikasi
pesan. Tautan tersebut mengarah ke formulir berisi permintaan data pribadi
keluarga. Berkat kewaspadaan orang tua yang mengenali ciri-ciri tautan
mencurigakan, ancaman itu dapat diantisipasi.
Literasi Digital Orang Tua: Lebih dari Sekadar Bisa
Mengoperasikan Gadget
Literasi digital bagi orang tua dalam konteks ini mencakup:
- Pemahaman
Platform: Mengenal fitur keamanan (privacy settings, parental
control) di LMS seperti Google Classroom, Zoom, atau Ruangguru.
- Deteksi
Risiko: Mengidentifikasi ancaman seperti cyberbullying,
konten tidak pantas, predator online, penipuan data (phishing), dan
jejak digital.
- Komunikasi
Asertif: Membangun dialog terbuka dengan anak tentang pengalaman
online tanpa menghakimi.
- Manajemen
Waktu & Konten: Menetapkan batasan durasi screen time dan
memfilter konten sesuai usia.
Strategi Praktis Membangun Keamanan Digital Anak
Berikut panduan konkret bagi orang tua berdasarkan
rekomendasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek) dan UNICEF:
- Jadilah
"Digital Buddy", Bukan Polisi:
- Contoh: Alih-alih
melarang, ajak anak mengeksplorasi fitur "pelaporan konten" (report
button) bersama-sama saat menemukan iklan tak pantas di samping video
pembelajaran.
- Referensi: UNICEF
menekankan pendekatan kolaboratif dalam Parenting in a Digital
World (2024).
- Gunakan
Teknologi Pendamping:
- Contoh: Aktifkan Google
Family Link untuk memantau durasi penggunaan aplikasi belajar,
memblokir situs berbahaya, atau menerapkan SafeSearch di
browser. Gunakan fitur Waiting Room pada Zoom untuk
mencegah orang tak diundang masuk kelas virtual.
- Referensi: Panduan
Keamanan Digital Keluarga oleh Kemendikbudristek (2024).
- Ajarkan
Konsep Jejak Digital & Privasi:
- Contoh: Jelaskan
bahwa membagikan foto layar tugas yang memuat nama lengkap, kelas, dan
nama sekolah di media sosial dapat dimanfaatkan orang tak bertanggung
jawab. Latih anak untuk selalu mengecek izin (permissions) sebelum
mengunduh aplikasi pendukung belajar.
- Referensi: Studi Digital
Citizenship in Education oleh Common Sense Media (2023).
- Buat
"Perjanjian Keluarga Digital" (Digital Family Contract):
- Contoh: Kesepakatan
tertulis yang ditandatangani orang tua dan anak, berisi poin seperti:
"Tidak membagikan kata sandi ke siapapun, termasuk teman",
"Memberitahu orang tua jika merasa tidak nyaman dengan interaksi
online", "Hanya mengakses platform belajar di waktu yang
disepakati".
- Referensi: Praktik
yang direkomendasikan oleh National Online Safety (UK,
2024).
- Kenali
Lingkungan Belajar Online Anak:
- Contoh: Luangkan
waktu seminggu sekali untuk melihat dashboard kelas
virtual anak, pahami fitur-fitur kolaborasi yang digunakan (chat grup,
forum diskusi), dan kenali guru serta teman sekelas virtualnya.
Kolaborasi Sekolah-Orang Tua: Kunci Utama
Sekolah memiliki peran vital dalam meningkatkan literasi
digital orang tua:
- Workshop
Rutin: Mengadakan pelatihan cybersafety praktis bagi
orang tua, bukan sekadar seminar teoritis.
- Komunikasi
Proaktif: Sekolah wajib menginformasikan kebijakan keamanan platform
yang digunakan (misalnya, apakah rekaman kelas disimpan, siapa yang bisa
mengakses data siswa).
- SOS
Channel: Menyediakan saluran khusus bagi orang tua untuk melaporkan
kekhawatiran atau insiden keamanan digital terkait pembelajaran online.
Tantangan dan Harapan Ke Depan
Tantangan terbesar adalah kesenjangan literasi digital
antargenerasi dan akses yang tidak merata. Namun, seperti disampaikan
oleh Dr. Amelia Wijaya, Pakar Pendidikan Digital dari UI:
"Literasi digital orang tua bukan tentang menjadi ahli
teknologi, tetapi tentang kesadaran, kewaspadaan, dan kemauan untuk terus
belajar bersama anak. Sekolah, pemerintah, dan komunitas harus bersinergi
menyediakan sumber daya yang mudah diakses dan relevan dengan konteks
lokal."
Di era di mana ruang kelas fisik telah meluas ke dunia maya,
keamanan anak dalam pembelajaran online adalah tanggung jawab kolektif.
Literasi digital orang tua menjadi fondasi utama. Dengan membekali diri dengan
pengetahuan, alat, dan strategi komunikasi yang tepat, orang tua dapat mengubah
ruang digital dari medan risiko menjadi lingkungan belajar yang aman,
produktif, dan memberdayakan bagi anak-anak Indonesia.
Referensi Sumber:
- KPAI.
(2024). Laporan Tahunan Perlindungan Anak di Dunia Digital.
Jakarta.
- Pew
Research Center. (2023). Parenting Children in the Age of Screens.
Washington D.C.
- Kemendikbudristek
RI. (2024). Panduan Keamanan Digital bagi Keluarga dan Satuan
Pendidikan. Jakarta.
- UNICEF.
(2024). Parenting in a Digital World: A Global Guide. New
York.
- Common
Sense Media. (2023). Digital Citizenship Curriculum & Research.
San Francisco.
- National
Online Safety. (2024). Digital Family Agreement Toolkit. UK.
- Wawancara
Eksklusif dengan Dr. Amelia Wijaya, Fakultas Ilmu Pendidikan UI (Juli
2025).
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Komentar