Rojali, Rohana, dan Rohalus: Wajah Baru Pengunjung Mall di Tengah Daya Beli Lesu
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Suasana di pusat perbelanjaan (mall) besar di kota-kota Indonesia pada akhir pekan masih ramai. Namun, sorak-sorai keramaian itu kerap tidak diiringi oleh denting kasir yang riuh. Yang terlihat justru dominasi tiga kelompok pengunjung khas: Rojali (Remaja Jalan Liat-liat), Rohana (Rombongan Hibur Anak), dan Rohalus (Remaja Hangout Liat-Liat Update Status). Fenomena ini menjadi cermin nyata tekanan ekonomi, gempuran belanja online, dan melemahnya daya beli kelas menengah.
Mengurai Fenomena "3R" di Mall:
Rojali (Remaja Jalan Liat-Liat):
Profil: Didominasi remaja hingga dewasa muda (usia 15-25 tahun), sering berkelompok. Tujuan utama mereka bukan belanja, melainkan menghabiskan waktu luang, bertemu teman, sekadar jalan-jalan melihat-lihat display toko dan etalase ("liat-liat").
Ciri Khas: Banyak menghabiskan waktu di area food court atau tempat duduk umum, berkeliling tanpa membawa banyak belanjaan, sering berfoto selfie atau grup.
Contoh: Sekelompok pelajar SMA yang menghabiskan Sabtu sore dengan berkeliling mall dari lantai ke lantai, mampir ke toko gadget hanya untuk mencoba demo produk, lalu nongkrong lama di food court hanya dengan membeli minuman ringan.
Rohana (Rombongan Hibur Anak):
Profil: Keluarga, terutama ibu-ibu dengan anak kecil (balita hingga SD). Mall dipilih sebagai tempat "hiburan" gratis atau murah untuk mengajak anak keluar rumah, menghindari panas atau hujan, dan mencari fasilitas bermain anak.
Ciri Khas: Sering terlihat di area playground (bayar atau gratis), taman bermain indoor, atau hanya berjalan-jalan mendorong stroller. Belanja biasanya minimal, fokus pada kebutuhan anak saat itu (makanan kecil, minuman) atau benar-benar hanya "window shopping".
Contoh: Seorang ibu membawa dua anak balitanya ke mall pada Minggu pagi. Mereka menghabiskan waktu 2 jam di playground gratis, membeli es krim, lalu pulang tanpa membeli barang apapun dari toko ritel.
Rohalus (Remaja Hangout Liat-Liat Update Status):
Profil: Mirip Rojali, tetapi lebih spesifik pada aktivitas digital. Mereka datang untuk mencari spot foto menarik (estetik), mencoba suasana baru, atau sekadar "nongkrong" sambil aktif di media sosial. Kehadiran di mall lebih untuk konten dan eksistensi sosial media.
Ciri Khas: Sibuk berfoto atau membuat video (TikTok, Reels), sering mencari latar belakang menarik atau cafe dengan desain instagrammable. Pengeluaran bisa sedikit lebih tinggi untuk minuman di cafe demi mendapatkan spot foto bagus, tetapi belanja barang jarang menjadi prioritas.
Contoh: Sekelompok anak muda menghabiskan waktu di cafe dengan desain unik, memesan minuman, lalu bergantian berfoto untuk diunggah ke Instagram atau TikTok, mungkin diselingi melihat-lihat toko tetapi tanpa niat membeli.
Kaitan Erat dengan Melemahnya Daya Beli dan Gempuran Online:
Dominasi ketiga kelompok ini bukan tanpa sebab. Fenomena ini berakar dalam pada beberapa faktor ekonomi dan perubahan perilaku konsumen:
Daya Beli Masyarakat yang Tertekan:
Inflasi dan Harga Pokok: Tingginya inflasi, terutama pada bahan pangan dan energi, menyedot anggaran belanja rumah tangga. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi tahunan Indonesia seringkali berada di atas target Bank Indonesia, terakhir di kisaran 2-3% namun dengan volatilitas tinggi pada komoditas tertentu. Ini membuat masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, lebih berhati-hati dalam pengeluaran diskresioner (untuk hiburan dan barang tidak pokok).
Penurunan Daya Beli Kelas Menengah: Kelas menengah, yang dulu menjadi tulang punggung belanja di mall, kini juga merasakan tekanan. Kenaikan biaya hidup (listrik, pendidikan, kesehatan) yang tidak selalu diimbangi kenaikan pendapatan, ditambah ketidakpastian ekonomi global, membuat mereka menunda atau mengurangi pembelian barang non-esensial seperti fashion, elektronik, atau barang dekorasi yang banyak dijual di mall. Survei Bank Indonesia (BI) tentang Persepsi Konsumen sering menunjukkan indeks kepercayaan konsumen yang fluktuatif, dengan komponen ekspektasi kondisi ekonomi dan kesempatan kerja menjadi faktor krusial yang mempengaruhi niat belanja.
Sumber: "Survei Konsumen Bank Indonesia, berbagai edisi 2023-2024" menunjukkan fluktuasi Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), dengan komponen ekspektasi ekonomi dan pendapatan sering menjadi penopang utama, sementara niat belanja barang tahan lama cenderung lebih rendah.
Melesatnya Belanja Online (E-commerce):
Kenyamanan dan Harga Kompetitif: Platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, dan TikTok Shop menawarkan kemudahan, pilihan luas, dan seringkali harga yang jauh lebih murah dibanding toko fisik di mall karena struktur biaya yang berbeda (tanpa sewa tempat mahal, staf banyak, AC, dll). Promo besar-besaran (flash sale, cashback, gratis ongkir) menjadi magnet kuat.
Perbandingan Harga Mudah: Konsumen cerdas kini dengan mudah membandingkan harga produk yang sama di berbagai platform online sebelum memutuskan beli, sesuatu yang lebih sulit dilakukan saat berkeliling mall.
Sumber: Data dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menunjukkan pertumbuhan transaksi e-commerce yang konsisten jauh di atas pertumbuhan ritel tradisional. Laporan "Indonesia E-commerce Market Report 2024" oleh perusahaan riset seperti Momentum Works atau Cube Asia juga memperkuat tren peningkatan penetrasi dan nilai transaksi online. Survei JakPat (Jajak Pendapat App) sering kali mengungkap "harga lebih murah" dan "praktis" sebagai alasan utama belanja online.
Dampak pada Ekosistem Mall:
Fenomena Rojali, Rohana, dan Rohalus ini membawa konsekuensi bagi pengelola mall dan tenant:
Penurunan Transaksi Ritel Konvensional: Toko-toko fashion, elektronik, dekorasi rumah, dan barang non-makanan lainnya mengalami tantangan besar dalam menarik pembeli yang sebenarnya berniat membeli (buyer). Foot traffic tinggi tidak lagi menjadi jaminan konversi penjualan.
Pergeseran Fokus Tenant: Mall berusaha beradaptasi dengan meningkatkan porsi tenant yang menyasar pengalaman dan kebutuhan dasar saat itu:
F&B (Makanan & Minuman): Food court dan restoran/cafe menjadi magnet utama, karena pengeluaran untuk makan/minum masih relatif terjangkau dan menjadi kebutuhan saat berkunjung. Cafe dengan konsep instagrammable sangat digemari Rohalus.
Entertainment & Layanan: Bioskop, arena bermain anak (playground), tempat hiburan keluarga (fun fair, arena game), dan layanan (klinik kecantikan, kursus singkat, tempat penitipan anak) semakin penting untuk menarik Rohana dan keluarga.
Supermarket/Mini Market: Tetap menjadi anchor tenant yang penting untuk kebutuhan sehari-hari.
Perubahan Desain Ruang Publik: Mall berinvestasi lebih besar pada ruang publik yang nyaman untuk nongkrong (Rojali/Rohalus) dan area bermain anak (Rohana). Wi-Fi gratis menjadi fasilitas wajib.
Masa Depan Mall: Beyond Shopping
Fenomena Rojali, Rohana, dan Rohalus menunjukkan bahwa mall di Indonesia sedang mengalami transformasi mendasar. Dari sekadar pusat belanja, mereka dipaksa berevolusi menjadi pusat pengalaman sosial dan hiburan (social & entertainment hubs). Keberhasilan mall ke depan akan ditentukan oleh kemampuannya menyediakan:
Pengalaman yang Tidak Tergantikan Online: Atmosfer, interaksi sosial langsung, hiburan langsung (event, pertunjukan), fasilitas rekreasi keluarga.
Layanan dan Kebutuhan Mendesak: F&B yang menarik, supermarket, layanan jasa (kesehatan, kecantikan, finansial).
Tempat Nongkrong dan Berkumpul yang Nyaman: Ruang publik yang luas, nyaman, dan estetik dengan konektivitas digital yang baik.
Rojali, Rohana, dan Rohalus bukan sekadar istilah kekinian. Mereka adalah gejala sosial-ekonomi yang gamblang menggambarkan realitas konsumen Indonesia saat ini: daya beli yang tertekan, efisiensi yang didiktekan oleh belanja online, dan kebutuhan akan ruang publik yang terjangkau untuk bersosialisasi dan berekreasi. Mall yang mampu beradaptasi dengan menyediakan nilai tambah berupa pengalaman, hiburan, dan kenyamanan bersosialisasi di luar transaksi belanja tradisional akan lebih mampu bertahan dalam menghadapi gelombang perubahan ini. Tantangan bagi tenant dan pengelola mall adalah berinovasi agar kunjungan "liat-liat" atau "hibur anak" ini suatu saat dapat dikonversi, minimal menjadi pembelian di F&B atau jasa, jika tidak untuk barang ritel konvensional. Masa depan ritel fisik terletak pada kemampuannya menjadi destination yang menawarkan lebih dari sekadar rak-rak barang.
Kata Kunci : # Remaja, # Jalan-jalan di Mall, # Data Beli Lesu,
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Komentar