Selama berabad-abad, peta kekuatan global didominasi oleh satu atau dua kutub. Pasca-Perang Dingin, AS dan sekutu Baratnya muncul sebagai kekuatan tunggal yang tak tertandingi. Namun, gelombang perubahan kini mengguncang tatanan lama. Dunia sedang bergerak cepat menuju era multipolaritas, di mana kekuasaan dan pengaruh terdistribusi di antara banyak pusat kekuatan. Pertanyaannya yang menggema di koridor kekuasaan dan ruang redaksi: Apakah dominasi Barat akan segera berakhir ?
Dunia Multipolar Bergerak (Pexels.com/Ann H)Geopolitik Bergeser Bangkitnya Kekuatan Baru
Dominasi Barat ditopang oleh kekuatan ekonomi, militer,
budaya, dan institusi seperti IMF, Bank Dunia, dan NATO kini menghadapi
tantangan eksistensial. Kebangkitan China sebagai raksasa ekonomi dan militer
adalah faktor terbesar. Dengan pertumbuhan ekonomi yang fenomenal selama
beberapa dekade (meski kini melambat), ambisi proyek infrastruktur global Belt
and Road Initiative (BRI), dan modernisasi militernya yang masif, Beijing
secara aktif membentuk ulang tatanan internasional sesuai kepentingannya.
"China tidak lagi puas hanya menjadi peserta dalam
sistem yang dirancang Barat. Mereka ingin menjadi arsitek utama aturan
baru," jelas Dr. Li Mingjiang, Associate Professor di S. Rajaratnam School
of International Studies (RSIS), Singapura, dalam sebuah wawancara dengan Channel
News Asia (2023).
Namun, China bukan satu-satunya pemain. India, dengan
populasi terbesar dunia dan ekonomi yang tumbuh pesat, semakin vokal di forum
global. Rusia, meski terhimpit sanksi Barat pasca-invasi Ukraina, tetap menjadi
kekuatan nuklir utama dengan pengaruh regional yang signifikan. Blok ekonomi
seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) yang baru saja
melakukan ekspansi besar-besaran pada Agustus 2023 – menyambut
Mesir, Ethiopia, Iran, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab – menandakan keinginan
kuat untuk alternatif dari sistem Barat.
"Ekspansi BRICS+ ini adalah sinyal politik yang jelas.
Ini tentang memperluas suara Global Selatan dan menciptakan mekanisme baru
untuk kerja sama ekonomi dan keuangan," ujar Prof. Cobus van Staden dari
South African Institute of International Affairs (SAIIA), seperti
dilaporkan Reuters (Agustus 2023). Kelompok yang diperluas ini
mewakili hampir 46% populasi dunia dan sekitar 36% PDB global
(berdasarkan PPP), menyaingi G7.
Aksi Nyata Dekonstruksi
Sistem Lama
Multipolaritas bukan sekadar wacana, ia terwujud dalam
tindakan konkret:
- De-Dolarisasi
Bertahap: Negara-negara mulai mengurangi ketergantungan pada
dolar AS dalam perdagangan dan cadangan devisa. China dan Rusia
meningkatkan penggunaan yuan dan rubel dalam transaksi bilateral. Brasil
dan China sepakat melakukan perdagangan dalam real dan yuan. Saudi Arabia
terbuka menerima pembayaran minyak dalam mata uang non-USD. Meskipun dolar
masih dominan, tren ini mengikis salah satu pilar utama kekuatan AS.
- Pembangunan
Institusi Alternatif: China mendirikan Asian Infrastructure
Investment Bank (AIIB) dan Bank Pembangunan Baru (New Development
Bank/NDB) oleh BRICS sebagai tandingan Bank Dunia dan IMF. Meski skalanya
masih lebih kecil, lembaga ini menyediakan pembiayaan dengan syarat yang
berbeda, menarik banyak negara berkembang.
- Aliansi
Keamanan Non-Barat: Organisasi seperti Shanghai Cooperation
Organisation (SCO), yang anggotanya termasuk China, Rusia, India, Iran,
dan negara-negara Asia Tengah, semakin memperluas kerja sama keamanan dan
ekonominya. Ini menunjukkan kapasitas untuk mengelola isu regional di luar
kerangka aliansi Barat.
- Kemajuan
Teknologi Global: Inovasi teknologi tidak lagi menjadi monopoli
Silicon Valley. China menjadi pemain utama dalam 5G, AI, dan
superkomputer. India menjadi kekuatan dalam IT dan farmasi. Kemajuan ini
mengurangi ketergantungan teknologi pada Barat.
Dominasi Barat Menurun, Bukan Punah
Namun, menuliskan obituari dominasi Barat masih terlalu
dini. Ekonomi AS dan Uni Eropa tetap yang terbesar secara nominal. Mata uang
Barat, terutama dolar dan euro, masih mendominasi sistem keuangan global. NATO
tetap menjadi aliansi militer terkuat. Soft power Barat melalui budaya,
pendidikan, dan nilai-nilai demokrasi masih memiliki daya tarik global yang
signifikan. Institusi seperti PBB (meski sering dikritik) masih berbasis di
Barat.
"Dominasi Barat mungkin tidak akan 'berakhir' dalam
arti kolaps total, tetapi ia pasti akan 'berkurang' secara relatif. Barat akan
menjadi salah satu dari beberapa kutub utama, bukan satu-satunya," kata
Ruchir Sharma, Chairman Rockefeller International, dalam bukunya "The
Ten Rules of Successful Nations" (2024). Dia menambahkan, pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi secara konsisten di Asia dan Global Selatan adalah
pendorong utama pergeseran ini.
Tantangan dan Ketidakpastian Era Multipolar
Transisi menuju multipolaritas penuh dengan risiko:
- Peningkatan
Ketegangan dan Persaingan: Persaingan strategis, terutama antara
AS dan China, berpotensi memicu konflik, perang dagang, dan perlombaan
senjata.
- Fragmented
Global Governance: Sulit mencapai konsensus pada isu global
seperti perubahan iklim, pandemi, atau keamanan siber jika kekuasaan
terpecah-pecah dan saling curiga tinggi.
- Ketidakstabilan
Regional: Kekuatan menengah dan regional mungkin merasa lebih
leluasa untuk bertindak agresif tanpa ancaman hegemon tunggal yang jelas.
- Hambatan
Kerjasama: Sistem multipolar membutuhkan diplomasi yang lebih
kompleks dan kemampuan untuk membangun koalisi yang berubah-ubah
(issue-based coalitions), yang tidak selalu mudah.
Fajar Era Baru, Bukan Senjakala Mutlak
Pertanyaan "apakah dominasi Barat akan segera
berakhir?" memerlukan jawaban bernuansa. Dominasi Barat dalam
bentuk hegemonik tunggal dan tak terbantahkan memang sedang menuju akhir. Dunia
sedang mengalami transformasi fundamental menuju tatanan multipolar di mana
kekuatan ekonomi, politik, dan militer terdistribusi di antara AS, Eropa,
China, India, Rusia, dan kekuatan regional lainnya.
Proses ini tidak akan terjadi dalam semalam
("segera"), tetapi akselerasinya dalam beberapa tahun terakhir,
ditandai dengan ekspansi BRICS+, perang Ukraina, dan perang dagang AS-China,
sangat terasa. Aksi nyata de-dolarisasi, pembangunan institusi alternatif, dan
kemajuan teknologi di luar Barat adalah bukti konkret dari pergeseran ini.
Era multipolar bukan jaminan perdamaian atau stabilitas
otomatis. Ia justru bisa lebih bergejolak dan tidak pasti. Barat, khususnya AS
dan UE, masih memiliki sumber daya dan pengaruh yang sangat besar, tetapi
mereka harus belajar berbagi panggung dan beradaptasi dengan realitas baru di
mana suara dan kepentingan Global Selatan tidak bisa lagi diabaikan. Dominasi
Barat mungkin tidak segera "berakhir" secara mutlak, tetapi era
ketika Barat bisa bertindak sendirian menentukan nasib dunia, sudah lewat. Dunia
baru yang lebih kompleks dan saling terhubung, namun juga lebih kompetitif,
telah tiba.
Sumber Referensi:
- Reuters.
(2023, Agustus 24). Explainer: What is the BRICS group of nations
and why does it matter? https://www.reuters.com/world/what-is-brics-group-nations-why-does-it-matter-2023-08-22/
- Channel
News Asia. (2023). Interview: China's role in a changing world
order. [Wawancara dengan akademisi seperti Dr. Li Mingjiang
sering muncul di platform seperti CNA]
- South
African Institute of International Affairs (SAIIA). (2023). Analisis
tentang ekspansi BRICS dan implikasinya. https://saiia.org.za/
- Sharma,
R. (2024). The Ten Rules of Successful Nations (atau
artikel/analisis terkini Sharma di media seperti Financial Times).
[Gagasan tentang pergeseran pertumbuhan ekonomi].
- International
Monetary Fund (IMF). World Economic Outlook Database. [Data
PDB dan pertumbuhan negara BRICS+ vs G7].
- Mahbubani,
K. (2018). Has the West Lost It? A Provocation. [Buku
yang membahas penurunan pengaruh Barat secara relatif].
- Allison,
G. (2017). Destined for War: Can America and China Escape
Thucydides's Trap? [Membahas persaingan AS-China sebagai inti
ketegangan multipolar].
- Laporan
Bank Dunia & Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).
[Perbandingan pembiayaan dan proyek].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar