Media Sosial dan Dua Tantangan Serius: Kesehatan Jiwa serta Kemampuan Fokus
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kehadiran media sosial kini tak terpisahkan dari keseharian.
Platform seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan X (Twitter) menghadirkan
akses informasi, hiburan, dan jejaring sosial. Namun, di balik manfaatnya,
riset mengungkap dampak signifikan terhadap kesehatan mental dan kemampuan
mempertahankan perhatian (rentang perhatian).
![]() |
| Media Sosial ( Pexels.com/Tracy Le Blanc) |
Gangguan pada Ranah Psikologis
- Kecemasan
Akibat Perbandingan Sosial:
Media sosial sering menampilkan potret kehidupan "terfilter" nan sempurna. Paparan berkelanjutan terhadap gambaran ideal ini memicu perbandingan sosial negatif. - Contoh: Melihat
unggahan liburan mewah rekan atau kisah romantis pasangan lain saat diri
sendiri terjebak rutinitas, bisa memunculkan rasa inferior dan memicu
gangguan kecemasan sosial. Penelitian dalam Journal of Social and
Clinical Psychology (2018) menunjukkan korelasi antara durasi
bermedia sosial dengan peningkatan gejala depresi dan kesepian, utamanya
akibat mekanisme perbandingan ini.
- FOMO
dan Beban Psikologis:
Banjir informasi real-time tentang aktivitas orang lain menumbuhkan Fear of Missing Out (FOMO) – rasa takut ketinggalan momen penting. Dorongan untuk terus "terhubung" demi menghindari FOMO berpotensi menyebabkan stres berkepanjangan dan mengganggu pola tidur. - Contoh: Kebiasaan
memeriksa notifikasi grup WhatsApp atau linimasa media sosial larut malam
karena khawatir kehilangan informasi atau percakapan menarik, meski tubuh
lelah. Survei Kementerian Kesehatan RI (2022) mencatat
peningkatan keluhan kecemasan ringan hingga sedang pada kelompok usia
15-24 tahun, dengan penggunaan media sosial intensif sebagai salah satu
faktor kontribusi.
- Dampak
Buruk Perundungan Siber:
Ruang digital juga rentan terhadap cyberbullying. Komentar negatif, body shaming, atau pelecehan daring dapat melukai psikis secara mendalam dan merusak citra tubuh, terutama pada remaja yang sedang membangun identitas diri. - Contoh: Remaja
putri yang terus mendapat komentar merendahkan tentang penampilannya di
media sosial berisiko mengalami krisis kepercayaan diri, bahkan memicu
gangguan makan atau depresi. Laporan UNICEF Indonesia (2020) mengungkapkan
sekitar 30% remaja di Indonesia pernah mengalami perundungan
siber.
- Kecanduan
dan Ketidakpuasan:
Desain platform yang dirancang untuk memikat pengguna (melalui notifikasi, scroll tak terbatas, algoritma personal) berpotensi menyebabkan perilaku kompulsif. Kecanduan ini menggerus waktu untuk aktivitas dunia nyata yang bermakna, menimbulkan perasaan hampa dan tidak puas.
Transformasi
Negatif pada Kemampuan Fokus
Tak hanya kesehatan jiwa, media sosial juga mengubah
fundamental cara otak memproses informasi:
- Kebiasaan
Sekilas dan Informasi Terfragmentasi:
Derasnya konten singkat dan beragam (video pendek, meme, cuplikan berita) mendorong kebiasaan "skimming" – membaca selintas dan berpindah topik dengan cepat. Otak menjadi terbiasa dengan stimulasi instan dan pergeseran fokus konstan, sehingga sulit berkonsentrasi pada tugas yang memerlukan pemahaman mendalam dan berkelanjutan. - Contoh: Kesulitan
membaca buku tebal atau laporan panjang tanpa tergoda mengecek ponsel
setiap beberapa menit, atau merasa jenuh saat menyimak presentasi yang
berdurasi lebih dari 10 menit.
- Jerat
Dopamin dan "Doomscrolling":
Setiap notifikasi, like, atau komentar baru memicu pelepasan dopamin – zat kimia otak terkait rasa senang dan penghargaan. Ini menciptakan siklus ketergantungan: pengguna terus menggulir (scrolling) mencari "hadiah" dopamin berikutnya, bahkan tanpa tujuan jelas (doomscrolling). Pola ini melemahkan kemampuan menunda kepuasan dan fokus pada aktivitas yang minim stimulasi instan. - Contoh: Membuka
TikTok hanya untuk satu video, namun tanpa sadar terjebak menggulir
selama satu jam, mengabaikan pekerjaan atau kewajiban belajar.
- Melemahnya
Kapasitas Berpikir Mendalam:
Paparan terus-menerus terhadap konten pendek dan terpotong-potong berisiko mengurangi kemampuan berpikir kritis, analitis, dan reflektif. Otak yang terbiasa dengan "makanan cepat saji" informasi bisa kesulitan mencerna "makanan bergizi" berupa argumen kompleks atau bacaan yang butuh kontemplasi. Studi oleh tim neurosains Universitas Harvard (2021) menunjukkan desain umpan media sosial yang berganti cepat dapat mengubah pola aktivitas otak, mengurangi kerja di area terkait pemrosesan informasi mendalam.
Strategi
Penggunaan Berkesadaran
Mengenali risikonya bukan berarti menghapus akun. Kuncinya
adalah pengelolaan yang bijaksana dan disengaja:
- Atur
Batas Waktu: Manfaatkan fitur "Waktu Layar" atau aplikasi
pengatur waktu untuk memantau dan membatasi durasi harian. Tetapkan jadwal
khusus, hindari penggunaan sebelum tidur dan saat baru bangun.
- Kurasi
"Feed": Berhenti mengikuti akun yang memicu emosi negatif,
kecemburuan, atau rasa tidak percaya diri. Pilih akun yang mendidik,
menginspirasi, dan berdampak positif.
- Kendalikan
Notifikasi: Matikan notifikasi yang tidak esensial untuk meminimalkan
gangguan dan godaan membuka aplikasi.
- Utamakan
Interaksi Langsung: Alokasikan lebih banyak waktu untuk pertemuan
tatap muka dengan keluarga dan sahabat. Bangun kedalaman hubungan di dunia
nyata.
- Terapkan
"Digital Detox": Lakukan jeda berkala dari media sosial
(misal, satu hari per minggu atau akhir pekan). Isi waktu dengan hobi
offline, olahraga, atau menikmati kesunyian.
- Bersikap
Kritis: Sadari bahwa konten di media sosial adalah hasil kurasi.
Selalu evaluasi apa yang dilihat, jangan langsung menerima. Gunakan sumber
informasi terpercaya untuk topik penting.
Media sosial laksana dua sisi mata uang. Ia menghubungkan
global dan membuka akses informasi, namun tanpa kendali yang bijak, berpotensi
menggerogoti kesehatan jiwa dan merusak kemampuan konsentrasi. Kesadaran
adalah langkah awal perlindungan. Dengan menerapkan pola konsumsi yang
lebih disengaja dan menyeimbangkannya dengan kehidupan nyata yang kaya, risiko
negatif dapat ditekan sambil tetap menikmati manfaat positifnya. Menjaga
kesehatan mental dan rentang perhatian merupakan aset berharga untuk menjalani kehidupan
produktif dan bermakna di tengah era yang sarat distraksi ini.
Referensi Sumber:
- Hunt,
M. G., et al. (2018). No More FOMO: Limiting Social Media
Decreases Loneliness and Depression. Journal of Social and Clinical
Psychology, 37(10), 751–768.
- Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Laporan Survei Kesehatan
Jiwa Remaja dan Dewasa Muda.
- UNICEF
Indonesia. (2020). Perundungan di Indonesia: Fakta, Solusi dan
Rekomendasi.
- Zuckerman,
M. (2021). How Social Media’s Fast-Swiping Design Rewires Your
Brain. (Melalui The Harvard Gazette).
- Twenge,
J. M. (2017). iGen: Why Today's Super-Connected Kids Are Growing
Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy--and Completely Unprepared
for Adulthood. Atria Books.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Komentar