Media sosial seharusnya jadi tempat saling terhubung, tapi kini sering berubah jadi "medan perang kata-kata". Ujaran kebencian, hinaan, dan debat tanpa ujung jadi pemandangan sehari-hari. Ini bukan cuma kesalahan segelintir orang, tapi tanda krisis empati online yang makin parah. Mengapa kita gampang marah di internet, tapi sulit menerima pendapat orang lain?
Marah dan menghina (Pexels.com/Liza Summer)
Empati yang Menghilang di Internet
Empati—kemampuan merasakan apa yang orang lain
rasakan—ternyata mudah rusak di dunia digital. Psikolog John Suler (2004)
menjelaskan bahwa sembunyi di balik akun anonim bikin orang
berani berkata kasar karena merasa tidak akan ketahuan. Otak kita juga
kesulitan memahami emosi lewat tulisan. Riset Universitas Michigan (2020)
membuktikan: empati remaja turun 40% dalam 20 tahun terakhir,
terutama karena kebiasaan berkomunikasi di media sosial.
Akar Masalah: Psikologi di Balik Kemarahan Online
- Melihat
Orang Sebagai "Bukan Manusia"
Saat berhadapan dengan profil tanpa foto asli, otak tidak menganggapnya manusia seutuhnya. Penelitian tahun 2022 menunjukkan: komentar ke akun anonim 3× lebih kasar daripada ke profil pakai foto diri.
Contoh nyata: Pemain sepak bola yang gagal mencetak gol dihujat habis-habisan, tanpa memedulikan perasaan mereka. - Terjebak
di "Gelembung Pemikiran"
Algoritma media sosial menjebak kita di ruang di mana kita cuma lihat pendapat yang sama dengan kita. Ketika nemui pendapat beda, reaksi pertama seringnya marah atau menyalahkan. Riset MIT (2023) menemukan: konten provokatif dapat 50% lebih banyak like daripada diskusi sehat.
Contoh nyata: Debat politik di Twitter yang berakhir dengan saling sebut "dungu" atau "dibayar". - Kecanduan
"Likes" dari Konten Negatif
Like dan retweet memberi kepuasan instan seperti candu. Banyak yang sengaja buat konten memicu amarah demi viral.
Contoh nyata: Video TikTok yang menjelekkan kelompok tertentu demi dapat banyak penonton, meski isinya hoax.
Dampak ke Masyarakat: Jadi Makin Terpecah
Ini bukan cuma masalah pribadi. Survei LSI (2024) menunjukkan: 72% orang Indonesia merasa media sosial memperparah perpecahan. Kasus seperti bocorin data pribadi aktivis atau bully korban kekerasan seksual membuktikan betapa empati kita tergerus teknologi.
Solusi: Bangkitkan Lagi Empati di Internet
- Media
Sosial Harus Lebih Manusiawi
Contoh: Fitur peringatan "Komentarmu mengandung kata kasar" sebelum posting (seperti uji coba Instagram di Thailand).
Sumber: Penelitian Harvard (2025). - Edukasi
"Etika Digital" Sejak Dini
Literasi digital bukan cuma soal kata sandi, tapi juga melatih hati sebelum berkomentar.
Contoh sukses: Program "Empati Digital" di sekolah Finlandia turunkan kasus perundungan online 30% (Laporan Pemerintah Finlandia, 2024). - Peraturan
yang Melindungi
UU Perlindungan Data Pribadi perlu didukung hukum khusus untuk tindak tegas ujaran kebencian.
Referensi: Aturan Uni Eropa yang wajibkan media sosial buka rahasia algoritma.
Ingatkan Diri Kita
"Teknologi bikin kita terhubung, tapi kadang malah
menjauhkan dari rasa manusiawi," tulis Sherry Turkle (2015). Krisis empati
ini cerminan kegagalan kita menggunakan internet sebagai ruang beradab.
Mungkin kuncinya cuma satu: "Kalau saya ngomong ini langsung ke
wajah orangnya, beraninya?"
Sumber Referensi (Disederhanakan):
- John
Suler (2004): Efek Berani di Balik Anonimitas Online.
- Universitas
Michigan (2020): Penurunan Empati Remaja Akibat Media Sosial.
- Uni
Eropa (2024): Aturan Transparansi Media Sosial.
- LSI
(2024): Survei Polaritas Sosial di Indonesia.
- Sherry
Turkle (2015): Buku "Reclaiming Conversation".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar