Kenapa Hidup Berkelanjutan Itu Penting? Ini Jawaban dan Langkah Nyatanya !
Halo, Saya Tryswid, blogger yang suka berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar pendidikan, sains dan gaya hidup. Blog ini saya buat sejak tahun 2008 sebagai tempat belajar dan berbagi hal-hal menarik tentang dunia kita. Terima kasih sudah berkunjung semoga tulisan di sini bermanfaat buat kalian semua. Salam hangat, Tryswid
Media sosial seharusnya jadi tempat saling terhubung, tapi kini sering berubah jadi "medan perang kata-kata". Ujaran kebencian, hinaan, dan debat tanpa ujung jadi pemandangan sehari-hari. Ini bukan cuma kesalahan segelintir orang, tapi tanda krisis empati online yang makin parah. Mengapa kita gampang marah di internet, tapi sulit menerima pendapat orang lain?

Marah dan menghina (Pexels.com/Liza Summer)
Empati yang Menghilang di Internet
Empati—kemampuan merasakan apa yang orang lain
rasakan—ternyata mudah rusak di dunia digital. Psikolog John Suler (2004)
menjelaskan bahwa sembunyi di balik akun anonim bikin orang
berani berkata kasar karena merasa tidak akan ketahuan. Otak kita juga
kesulitan memahami emosi lewat tulisan. Riset Universitas Michigan (2020)
membuktikan: empati remaja turun 40% dalam 20 tahun terakhir,
terutama karena kebiasaan berkomunikasi di media sosial.
Akar Masalah: Psikologi di Balik Kemarahan Online
Dampak ke Masyarakat: Jadi Makin Terpecah
Ini bukan cuma masalah pribadi. Survei LSI (2024) menunjukkan: 72% orang Indonesia merasa media sosial memperparah perpecahan. Kasus seperti bocorin data pribadi aktivis atau bully korban kekerasan seksual membuktikan betapa empati kita tergerus teknologi.
Solusi: Bangkitkan Lagi Empati di Internet
Ingatkan Diri Kita
"Teknologi bikin kita terhubung, tapi kadang malah
menjauhkan dari rasa manusiawi," tulis Sherry Turkle (2015). Krisis empati
ini cerminan kegagalan kita menggunakan internet sebagai ruang beradab.
Mungkin kuncinya cuma satu: "Kalau saya ngomong ini langsung ke
wajah orangnya, beraninya?"
Sumber Referensi (Disederhanakan):
Komentar