Minggu, 09 Maret 2025

TikTokisasi Budaya, Konten Viral vs Ancaman terhadap Identitas Lokal

Dalam kurun waktu singkat, TikTok berubah menjadi kekuatan budaya yang mendominasi percakapan global. Platform berbagi video pendek ini tidak sekadar menghubungkan pengguna, tetapi juga menciptakan fenomena "TikTokisasi"—proses di mana konten viral mengubah cara masyarakat mengonsumsi budaya. Berdasarkan laporan DataReportal (2023), Indonesia menempati posisi kedua sebagai pasar terbesar TikTok di Asia Tenggara dengan 99,1 juta pengguna aktif. Di balik popularitasnya, muncul kekhawatiran: apakah algoritma TikTok yang membanjiri pengguna dengan tren seragam berpotensi mengaburkan identitas budaya lokal?

Diktat Algoritma, Bagaimana Konten Viral Dibentuk?

TikTok mengandalkan algoritma yang menganalisis perilaku pengguna secara instan. Studi Wallaroo Media (2022) menunjukkan bahwa 70% konten di For You Page (FYP) didominasi tren global seperti "Buss It Challenge" atau tarian "Renegade". Mekanisme ini, menurut Reuters Institute (2023), sering mengesampingkan konteks lokal demi mempertahankan interaksi pengguna.

Contohnya, lagu "Lagi Syantik" karya Siti Badriah viral di TikTok karena dianggap menghibur, meski mengandung kritik sosial. Namun, riset Pusat Studi Budaya Universitas Indonesia (2022) mengungkap hanya 12% kreator yang paham pesan di balik tren yang mereka ikuti. "Budaya hanya dijadikan sebagai konten hiburan, kehilangan nilai reflektifnya," jelas Dr. Aulia Nastiti, akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, dalam wawancara dengan Kompas (Maret 2023).

Seni Tradisi di Era Digital, Antara Peluang dan Tantangan

Di satu sisi, TikTok memberi napas baru bagi pelestarian budaya. Laporan UNESCO (2022) menyebutkan, platform ini berperan merevitalisasi minat generasi muda terhadap warisan budaya. Misalnya, tarian Gandrung dari Banyuwangi yang dihidupkan kembali lewat challenge #GandrungChallenge, atau pengrajin Tenun Flores yang memasarkan karya lewat livestream"Anak muda sekarang lebih tertarik belajar tenun setelah melihat konten di TikTok," ujar Maria Wonda, perajin asal Maumere, dalam dokumenter BBC Indonesia (2021).

Di sisi lain, tuntutan untuk viral kerap mengubah budaya menjadi komoditas. Penelitian Jurnal Antropologi Indonesia (2023) mengkritik praktik mempersingkat ritual sakral seperti Rambu Solo’ (Toraja) atau Nyekar (Jawa) agar sesuai dengan durasi konten. "Ini bukan pelestarian, tapi eksploitasi eksotisme budaya," tegas Ignasius Sandyawan, budayawan, dalam seminar Kemdikbudristek (2022).

Tiktok saat ini banyak yang disukai pengguna (Pexels.com/Mart Production)

Penyeragaman Budaya vs Adaptasi Kreatif

Data Katadata (2023) memaparkan, 60% konten populer di TikTok Indonesia diisi tren global, sementara konten bertema lokal hanya menyumbang 15%. Temuan ini sejalan dengan survei Global Web Index (2023) yang menyatakan 58% Gen Z Indonesia lebih menyukai konten berbahasa asing. Survei Kemendikbudristek (2022) juga mencatat, 70% remaja perkotaan tidak mampu menyebutkan tarian khas daerahnya.

Meski demikian, adaptasi kreatif tetap muncul. Challenge #OtwMakanSate yang menggabungkan musik elektronik dengan suasana warung sate, atau inovasi "Keroncong Remix" oleh DJ muda, membuktikan budaya lokal bisa bersaing. "Kuncinya adalah memimpin tren, bukan hanya jadi pengekor," tutur Andien Aisyah, musisi yang memadukan jazz dan gamelan, dalam podcast Mata Najwa (April 2023).

Solusi Kolaboratif, Literasi hingga Regulasi

Untuk mencegah tergerusnya identitas lokal, diperlukan langkah strategis. Pertama, meningkatkan pemahaman digital yang berlandaskan kearifan lokal di institusi pendidikan, sesuai rekomendasi Kominfo (2022). Kedua, pemerintah perlu memperkuat regulasi seperti RUU Perlindungan Data dan revisi UU ITE untuk mendorong konten edukatif. Ketiga, mendukung kreator lokal melalui program kolaborasi, seperti inisiatif TikTok Southeast Asia Cultural Heritage Initiative.

"Modernitas dan tradisi harus berjalan beriringan, bukan saling meniadakan," tulis Seno Gumira Ajidarma dalam buku Budaya di Ujung Jari (2020). Di tengah gempuran konten viral, identitas lokal hanya akan bertahan jika dirawat secara kritis dan kreatif.

Sumber Referensi

  1. DataReportal. (2023). Digital 2023: Indonesia. https://datareportal.com/reports/digital-2023-indonesia
  2. UNESCO. (2022). Safeguarding Intangible Cultural Heritage in the Digital Age.

https://www.unesco.org/en/intangible-cultural-heritage

  1. Katadata. (2023). Laporan Tren Konten Digital Indonesia.

https://databoks.katadata.co.id/teknologi-telekomunikasi/statistik/67ac7f363ab9f/pertumbuhan-jumlah-usaha-e-commerce-di-indonesia-2022-2023

  1. Jurnal Antropologi Indonesia. (2023). Komodifikasi Budaya di Media Sosial: Studi Kasus TikTok. Filosofi+vol+3+no+1+februari+2025+hal+75-88.pdf
  2. BBC Indonesia. (2021). Tenun Flores: Merajut Tradisi di Era Digital. https://jurnalkainawa.baubaukota.go.id/index.php/knw/article/view/56

Tidak ada komentar: