Dalam kurun waktu singkat, TikTok berubah menjadi kekuatan budaya yang mendominasi percakapan global. Platform berbagi video pendek ini tidak sekadar menghubungkan pengguna, tetapi juga menciptakan fenomena "TikTokisasi"—proses di mana konten viral mengubah cara masyarakat mengonsumsi budaya. Berdasarkan laporan DataReportal (2023), Indonesia menempati posisi kedua sebagai pasar terbesar TikTok di Asia Tenggara dengan 99,1 juta pengguna aktif. Di balik popularitasnya, muncul kekhawatiran: apakah algoritma TikTok yang membanjiri pengguna dengan tren seragam berpotensi mengaburkan identitas budaya lokal?
Diktat Algoritma, Bagaimana Konten Viral Dibentuk?
TikTok mengandalkan algoritma yang menganalisis perilaku
pengguna secara instan. Studi Wallaroo Media (2022)
menunjukkan bahwa 70% konten di For You Page (FYP) didominasi
tren global seperti "Buss It Challenge" atau
tarian "Renegade". Mekanisme ini, menurut Reuters
Institute (2023), sering mengesampingkan konteks lokal demi
mempertahankan interaksi pengguna.
Contohnya, lagu "Lagi Syantik" karya
Siti Badriah viral di TikTok karena dianggap menghibur, meski mengandung kritik
sosial. Namun, riset Pusat Studi Budaya Universitas Indonesia (2022)
mengungkap hanya 12% kreator yang paham pesan di balik tren
yang mereka ikuti. "Budaya hanya dijadikan sebagai konten hiburan,
kehilangan nilai reflektifnya," jelas Dr. Aulia Nastiti,
akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, dalam wawancara dengan Kompas (Maret
2023).
Seni Tradisi di Era Digital, Antara Peluang dan Tantangan
Di satu sisi, TikTok memberi napas baru bagi pelestarian
budaya. Laporan UNESCO (2022) menyebutkan, platform ini
berperan merevitalisasi minat generasi muda terhadap warisan budaya. Misalnya,
tarian Gandrung dari Banyuwangi yang dihidupkan kembali lewat
challenge #GandrungChallenge, atau pengrajin Tenun Flores yang memasarkan karya
lewat livestream. "Anak muda sekarang lebih tertarik
belajar tenun setelah melihat konten di TikTok," ujar Maria
Wonda, perajin asal Maumere, dalam dokumenter BBC Indonesia (2021).
Di sisi lain, tuntutan untuk viral kerap mengubah budaya
menjadi komoditas. Penelitian Jurnal Antropologi Indonesia (2023)
mengkritik praktik mempersingkat ritual sakral seperti Rambu Solo’ (Toraja)
atau Nyekar (Jawa) agar sesuai dengan durasi konten. "Ini
bukan pelestarian, tapi eksploitasi eksotisme budaya," tegas
Ignasius Sandyawan, budayawan, dalam seminar Kemdikbudristek (2022).
![]() |
Tiktok saat ini banyak yang disukai pengguna (Pexels.com/Mart Production) |
Penyeragaman Budaya vs Adaptasi Kreatif
Data Katadata (2023) memaparkan, 60% konten
populer di TikTok Indonesia diisi tren global, sementara konten bertema lokal
hanya menyumbang 15%. Temuan ini sejalan dengan survei Global Web Index (2023)
yang menyatakan 58% Gen Z Indonesia lebih menyukai konten berbahasa asing.
Survei Kemendikbudristek (2022) juga mencatat, 70%
remaja perkotaan tidak mampu menyebutkan tarian khas daerahnya.
Meski demikian, adaptasi kreatif tetap muncul. Challenge
#OtwMakanSate yang menggabungkan musik elektronik dengan suasana warung sate,
atau inovasi "Keroncong Remix" oleh DJ muda,
membuktikan budaya lokal bisa bersaing. "Kuncinya adalah memimpin
tren, bukan hanya jadi pengekor," tutur Andien Aisyah, musisi
yang memadukan jazz dan gamelan, dalam podcast Mata Najwa (April
2023).
Solusi Kolaboratif, Literasi hingga Regulasi
Untuk mencegah tergerusnya identitas lokal, diperlukan
langkah strategis. Pertama, meningkatkan pemahaman digital yang
berlandaskan kearifan lokal di institusi pendidikan, sesuai rekomendasi Kominfo (2022). Kedua,
pemerintah perlu memperkuat regulasi seperti RUU Perlindungan Data dan revisi
UU ITE untuk mendorong konten edukatif. Ketiga, mendukung kreator
lokal melalui program kolaborasi, seperti inisiatif TikTok Southeast
Asia Cultural Heritage Initiative.
"Modernitas dan tradisi harus berjalan beriringan,
bukan saling meniadakan," tulis Seno Gumira Ajidarma dalam
buku Budaya di Ujung Jari (2020). Di tengah gempuran konten
viral, identitas lokal hanya akan bertahan jika dirawat secara kritis dan
kreatif.
Sumber Referensi
- DataReportal. (2023). Digital 2023:
Indonesia. https://datareportal.com/reports/digital-2023-indonesia
- UNESCO. (2022). Safeguarding Intangible
Cultural Heritage in the Digital Age.
https://www.unesco.org/en/intangible-cultural-heritage
- Katadata. (2023). Laporan Tren Konten
Digital Indonesia.
- Jurnal Antropologi Indonesia. (2023). Komodifikasi
Budaya di Media Sosial: Studi Kasus TikTok. Filosofi+vol+3+no+1+februari+2025+hal+75-88.pdf
- BBC Indonesia. (2021). Tenun Flores:
Merajut Tradisi di Era Digital. https://jurnalkainawa.baubaukota.go.id/index.php/knw/article/view/56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar