Kenapa Hidup Berkelanjutan Itu Penting? Ini Jawaban dan Langkah Nyatanya !
Halo, Saya Tryswid, blogger yang suka berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar pendidikan, sains dan gaya hidup. Blog ini saya buat sejak tahun 2008 sebagai tempat belajar dan berbagi hal-hal menarik tentang dunia kita. Terima kasih sudah berkunjung semoga tulisan di sini bermanfaat buat kalian semua. Salam hangat, Tryswid
Di tengah ancaman iklim yang semakin nyata, kendaraan listrik (EV) disebut-sebut sebagai jawaban atas krisis transportasi berkelanjutan. Namun, mampukah teknologi ini merebut tahta bahan bakar fosil yang telah berkuasa lebih dari satu abad? Menjelang target emisi nol-bersih 2050, apakah EV sanggup menjadi pemenang utama dalam tujuh tahun mendatang?
1. Laju Pertumbuhan Menggembirakan, Tapi Pasar Masih
Terbatas
Berdasarkan laporan International Energy Agency
(IEA), penjualan EV global meroket 55% pada 2022, menembus
angka 10 juta unit. China memegang kendali dengan pangsa pasar 60%, disusul
Eropa (21%) dan AS (8%). Namun, EV baru mencakup 14% dari
total penjualan mobil baru dunia.
“Pertumbuhan EV ibarat pelari yang melesat di start, tetapi hambatan
terbesar ada di garis akhir,” ujar Fatih Birol, Direktur Eksekutif
IEA.
Di Indonesia, penjualan EV hanya menyentuh 15.000
unit pada 2023 (data Gaikindo), atau kurang dari 2% total
pasar otomotif. Padahal, pemerintah mencanangkan produksi mobil listrik
mencapai 20% pada 2025.
![]() |
| Mobil listrik banyak model dipasaran (Paxxels.com/Mikebirday) |
2. Infrastruktur dan Baterai, Kendala Utama Pengembangan EV
“Tanpa penurunan harga baterai, EV hanya akan jadi mainan
kalangan elite,” tegas Dr. Andi Sudirman, peneliti energi ITB.
3. Bahan Bakar Fosil, Bertahan dengan Inovasi dan
Kekuatan Politik
Industri bahan bakar fosil tak tinggal diam menghadapi
gempuran EV:
“Mereka punya sumber daya, jaringan, dan pengaruh yang
kuat. EV harus berlari lebih kencang,” ungkap Lisa Friedman,
jurnalis The New York Times.
4. Kontroversi Lingkungan, Seberapa Hijaukah EV?
“EV bukan tanpa cela, tapi dalam 10 tahun pemakaian,
emisinya tetap lebih rendah 30% dibanding mobil berbahan bakar fosil,” jelas
Jane Nakano, analis CSIS.
5. Kebijakan Negara, Antara Ambisi dan Realita
“Insentif perlu dibarengi regulasi seperti pajak karbon
untuk mobil konvensional,” usul Fabby Tumiwa, Direktur IESR.
6. Indonesia, Kaya Nikel, Namun Minim Nilai Tambah
Meski memiliki 24% cadangan nikel global,
Indonesia masih terjebak dalam ketergantungan:
“Kita ekspor bahan baku ke China, lalu mengimpor produk
jadi dengan harga fantastis,” kritik Airlangga Hartarto, Menko
Perekonomian.
Proyeksi 2030, Optimisme vs Realitas Pahit
BloombergNEF memprediksi EV akan kuasai 50% pasar
mobil global pada 2030. Namun, sejumlah analis meragukannya:
“EV mungkin menang di perkotaan, tapi di daerah
terpencil, BBM tetap primadona,” ujar Dr. Tata Mustasya, Greenpeace
Asia Tenggara.
Pertarungan yang Belum Berakhir
Persaingan EV dan bahan bakar fosil bukan sekadar soal
teknologi, melainkan perebutan pengaruh politik, ekonomi, dan keadilan iklim.
Pada 2030, EV mungkin unggul di pasar tertentu, tetapi bahan bakar fosil belum
akan punah. Kunci keberhasilan terletak pada transisi inklusif —
tidak hanya mengganti kendaraan, tetapi membangun ekosistem transportasi
berkelanjutan dari hulu ke hilir.
“Jangan fanatik pada EV. Yang penting adalah mengurangi
ketergantungan pada kendaraan pribadi, apa pun jenisnya,” tegas Najwa
Shihab, pegiat transportasi berkelanjutan.
Komentar