Di tengah ancaman iklim yang semakin nyata, kendaraan listrik (EV) disebut-sebut sebagai jawaban atas krisis transportasi berkelanjutan. Namun, mampukah teknologi ini merebut tahta bahan bakar fosil yang telah berkuasa lebih dari satu abad? Menjelang target emisi nol-bersih 2050, apakah EV sanggup menjadi pemenang utama dalam tujuh tahun mendatang?
1. Laju Pertumbuhan Menggembirakan, Tapi Pasar Masih
Terbatas
Berdasarkan laporan International Energy Agency
(IEA), penjualan EV global meroket 55% pada 2022, menembus
angka 10 juta unit. China memegang kendali dengan pangsa pasar 60%, disusul
Eropa (21%) dan AS (8%). Namun, EV baru mencakup 14% dari
total penjualan mobil baru dunia.
“Pertumbuhan EV ibarat pelari yang melesat di start, tetapi hambatan
terbesar ada di garis akhir,” ujar Fatih Birol, Direktur Eksekutif
IEA.
Di Indonesia, penjualan EV hanya menyentuh 15.000
unit pada 2023 (data Gaikindo), atau kurang dari 2% total
pasar otomotif. Padahal, pemerintah mencanangkan produksi mobil listrik
mencapai 20% pada 2025.
![]() |
Mobil listrik banyak model dipasaran (Paxxels.com/Mikebirday) |
2. Infrastruktur dan Baterai, Kendala Utama Pengembangan EV
- Jaringan
Pengisian Daya, rasio EV dengan stasiun pengisian global masih 10:1.
Di Indonesia, hanya tersedia 500 stasiun untuk melayani
lebih dari 2.000 unit EV.
- Biaya
Baterai, harga baterai lithium-ion turun 89% sejak
2010 (menurut BloombergNEF), namun harga komponen seperti nikel dan kobalt
masih tidak stabil.
- Ketergantungan
pada Impor, China menguasai 70% produksi baterai
global. Sementara AS dan Eropa membangun pabrik baterai mandiri, Indonesia
mengandalkan nikel untuk masuk ke rantai pasok global.
“Tanpa penurunan harga baterai, EV hanya akan jadi mainan
kalangan elite,” tegas Dr. Andi Sudirman, peneliti energi ITB.
3. Bahan Bakar Fosil, Bertahan dengan Inovasi dan
Kekuatan Politik
Industri bahan bakar fosil tak tinggal diam menghadapi
gempuran EV:
- Biofuel,
Pertamina dan Shell menggarap B35 serta bensin sintetis berbasis bahan
organik.
- CCS
(Carbon Capture Storage), teknologi penangkapan karbon diyakini
memperpanjang umur industri minyak dan gas.
- Pengaruh
Politik, perusahaan minyak AS menggelontorkan $200 juta untuk
melobi kebijakan anti-EV pada 2022 (OpenSecrets).
“Mereka punya sumber daya, jaringan, dan pengaruh yang
kuat. EV harus berlari lebih kencang,” ungkap Lisa Friedman,
jurnalis The New York Times.
4. Kontroversi Lingkungan, Seberapa Hijaukah EV?
- Emisi
dari Produksi, proses produksi baterai EV menghasilkan 60%
lebih banyak emisi ketimbang mobil konvensional (Studi MIT).
- Dampak
Pertambangan, eksploitasi nikel di Sulawesi dan lithium di Chile
mengancam ekosistem setempat.
- Sistem
Daur Ulang, hanya 5% baterai EV yang didaur ulang
secara global akibat minimnya regulasi.
“EV bukan tanpa cela, tapi dalam 10 tahun pemakaian,
emisinya tetap lebih rendah 30% dibanding mobil berbahan bakar fosil,” jelas
Jane Nakano, analis CSIS.
5. Kebijakan Negara, Antara Ambisi dan Realita
- Norwegia,
paling progresif — 80% mobil baru pada 2023 adalah EV,
menargetkan 100% pada 2025.
- Uni
Eropa, akan melarang penjualan mobil mesin pembakaran internal mulai
2035.
- AS,
memberikan subsidi $7.500 per unit EV melalui Inflation Reduction
Act.
- Indonesia,
memberikan insentif pajak 0%, namun harga EV tetap di atas Rp500 juta.
“Insentif perlu dibarengi regulasi seperti pajak karbon
untuk mobil konvensional,” usul Fabby Tumiwa, Direktur IESR.
6. Indonesia, Kaya Nikel, Namun Minim Nilai Tambah
Meski memiliki 24% cadangan nikel global,
Indonesia masih terjebak dalam ketergantungan:
- Ekspor
Bahan Mentah, pabrik baterai masih dikuasai perusahaan asing seperti
CATL (China) dan LG (Korea).
- Energi
Kotor, 60% listrik nasional bersumber dari batu bara
— paradoks bagi industri EV yang dianggap ramah lingkungan.
“Kita ekspor bahan baku ke China, lalu mengimpor produk
jadi dengan harga fantastis,” kritik Airlangga Hartarto, Menko
Perekonomian.
Proyeksi 2030, Optimisme vs Realitas Pahit
BloombergNEF memprediksi EV akan kuasai 50% pasar
mobil global pada 2030. Namun, sejumlah analis meragukannya:
- Kesenjangan
Global, EV akan mendominasi di
Eropa dan China, sementara negara berkembang tetap bergantung pada mobil
bekas berbahan bakar fosil.
- Transisi
Energi Lambat, jika pasokan
listrik tetap bergantung pada fosil, emisi EV tidak akan berkurang
signifikan.
“EV mungkin menang di perkotaan, tapi di daerah
terpencil, BBM tetap primadona,” ujar Dr. Tata Mustasya, Greenpeace
Asia Tenggara.
Pertarungan yang Belum Berakhir
Persaingan EV dan bahan bakar fosil bukan sekadar soal
teknologi, melainkan perebutan pengaruh politik, ekonomi, dan keadilan iklim.
Pada 2030, EV mungkin unggul di pasar tertentu, tetapi bahan bakar fosil belum
akan punah. Kunci keberhasilan terletak pada transisi inklusif —
tidak hanya mengganti kendaraan, tetapi membangun ekosistem transportasi
berkelanjutan dari hulu ke hilir.
“Jangan fanatik pada EV. Yang penting adalah mengurangi
ketergantungan pada kendaraan pribadi, apa pun jenisnya,” tegas Najwa
Shihab, pegiat transportasi berkelanjutan.
- Laporan International Energy Agency (IEA)
2023, https://www.iea.org/reports/global-ev-outlook-2023
- Data BloombergNEF Electric Vehicle Outlook,
https://about.bnef.com/blog/electric-vehicle-sales-headed-for-record-year-but-growth-slowdown-puts-climate-targets-at-risk-according-to-bloombergnef-report/
- Kementerian ESDM Indonesia, https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/percepat-ekosistem-kendaraan-listrik-pemerintah-resmi-terbitkan-tarif-dan-biaya-layanan-pengisian-listrik-pada-spklu#
- Riset MIT dan CSIS, https://features.csis.org/electric-avenues-localizing-electric-vehicle-supply-chains/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar