Sabtu, 08 Maret 2025

Kendaraan Listrik, Bisakah Menggeser Dominasi Bahan Bakar Fosil di 2030?

Di tengah ancaman iklim yang semakin nyata, kendaraan listrik (EV) disebut-sebut sebagai jawaban atas krisis transportasi berkelanjutan. Namun, mampukah teknologi ini merebut tahta bahan bakar fosil yang telah berkuasa lebih dari satu abad? Menjelang target emisi nol-bersih 2050, apakah EV sanggup menjadi pemenang utama dalam tujuh tahun mendatang?

1. Laju Pertumbuhan Menggembirakan, Tapi Pasar Masih Terbatas

Berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA), penjualan EV global meroket 55% pada 2022, menembus angka 10 juta unit. China memegang kendali dengan pangsa pasar 60%, disusul Eropa (21%) dan AS (8%). Namun, EV baru mencakup 14% dari total penjualan mobil baru dunia.
“Pertumbuhan EV ibarat pelari yang melesat di start, tetapi hambatan terbesar ada di garis akhir,” ujar Fatih Birol, Direktur Eksekutif IEA.

Di Indonesia, penjualan EV hanya menyentuh 15.000 unit pada 2023 (data Gaikindo), atau kurang dari 2% total pasar otomotif. Padahal, pemerintah mencanangkan produksi mobil listrik mencapai 20% pada 2025.

Mobil listrik banyak model dipasaran (Paxxels.com/Mikebirday)

2. Infrastruktur dan Baterai,  Kendala Utama Pengembangan EV

  • Jaringan Pengisian Daya, rasio EV dengan stasiun pengisian global masih 10:1. Di Indonesia, hanya tersedia 500 stasiun untuk melayani lebih dari 2.000 unit EV.
  • Biaya Baterai, harga baterai lithium-ion turun 89% sejak 2010 (menurut BloombergNEF), namun harga komponen seperti nikel dan kobalt masih tidak stabil.
  • Ketergantungan pada Impor, China menguasai 70% produksi baterai global. Sementara AS dan Eropa membangun pabrik baterai mandiri, Indonesia mengandalkan nikel untuk masuk ke rantai pasok global.

“Tanpa penurunan harga baterai, EV hanya akan jadi mainan kalangan elite,” tegas Dr. Andi Sudirman, peneliti energi ITB.

3. Bahan Bakar Fosil, Bertahan dengan Inovasi dan Kekuatan Politik

Industri bahan bakar fosil tak tinggal diam menghadapi gempuran EV:

  • Biofuel, Pertamina dan Shell menggarap B35 serta bensin sintetis berbasis bahan organik.
  • CCS (Carbon Capture Storage), teknologi penangkapan karbon diyakini memperpanjang umur industri minyak dan gas.
  • Pengaruh Politik, perusahaan minyak AS menggelontorkan $200 juta untuk melobi kebijakan anti-EV pada 2022 (OpenSecrets).

“Mereka punya sumber daya, jaringan, dan pengaruh yang kuat. EV harus berlari lebih kencang,” ungkap Lisa Friedman, jurnalis The New York Times.

4. Kontroversi Lingkungan, Seberapa Hijaukah EV?

  • Emisi dari Produksi, proses produksi baterai EV menghasilkan 60% lebih banyak emisi ketimbang mobil konvensional (Studi MIT).
  • Dampak Pertambangan, eksploitasi nikel di Sulawesi dan lithium di Chile mengancam ekosistem setempat.
  • Sistem Daur Ulang, hanya 5% baterai EV yang didaur ulang secara global akibat minimnya regulasi.

“EV bukan tanpa cela, tapi dalam 10 tahun pemakaian, emisinya tetap lebih rendah 30% dibanding mobil berbahan bakar fosil,” jelas Jane Nakano, analis CSIS.

5. Kebijakan Negara, Antara Ambisi dan Realita

  • Norwegia, paling progresif — 80% mobil baru pada 2023 adalah EV, menargetkan 100% pada 2025.
  • Uni Eropa, akan melarang penjualan mobil mesin pembakaran internal mulai 2035.
  • AS, memberikan subsidi $7.500 per unit EV melalui Inflation Reduction Act.
  • Indonesia, memberikan insentif pajak 0%, namun harga EV tetap di atas Rp500 juta.

“Insentif perlu dibarengi regulasi seperti pajak karbon untuk mobil konvensional,” usul Fabby Tumiwa, Direktur IESR.

6. Indonesia, Kaya Nikel, Namun Minim Nilai Tambah

Meski memiliki 24% cadangan nikel global, Indonesia masih terjebak dalam ketergantungan:

  • Ekspor Bahan Mentah, pabrik baterai masih dikuasai perusahaan asing seperti CATL (China) dan LG (Korea).
  • Energi Kotor,  60% listrik nasional bersumber dari batu bara — paradoks bagi industri EV yang dianggap ramah lingkungan.

“Kita ekspor bahan baku ke China, lalu mengimpor produk jadi dengan harga fantastis,” kritik Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian.

Proyeksi 2030, Optimisme vs Realitas Pahit

BloombergNEF memprediksi EV akan kuasai 50% pasar mobil global pada 2030. Namun, sejumlah analis meragukannya:

  • Kesenjangan Global,  EV akan mendominasi di Eropa dan China, sementara negara berkembang tetap bergantung pada mobil bekas berbahan bakar fosil.
  • Transisi Energi Lambat,  jika pasokan listrik tetap bergantung pada fosil, emisi EV tidak akan berkurang signifikan.

“EV mungkin menang di perkotaan, tapi di daerah terpencil, BBM tetap primadona,” ujar Dr. Tata Mustasya, Greenpeace Asia Tenggara.

Pertarungan yang Belum Berakhir

Persaingan EV dan bahan bakar fosil bukan sekadar soal teknologi, melainkan perebutan pengaruh politik, ekonomi, dan keadilan iklim. Pada 2030, EV mungkin unggul di pasar tertentu, tetapi bahan bakar fosil belum akan punah. Kunci keberhasilan terletak pada transisi inklusif — tidak hanya mengganti kendaraan, tetapi membangun ekosistem transportasi berkelanjutan dari hulu ke hilir.

“Jangan fanatik pada EV. Yang penting adalah mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, apa pun jenisnya,” tegas Najwa Shihab, pegiat transportasi berkelanjutan.

  Sumber Referensi:

Tidak ada komentar: