Membongkar Esensi ‘Anak Senja’
Istilah “Anak Senja” mulai populer sekitar awal dekade 2020-an, bersamaan dengan menjamurnya konten bertema slow living di platform digital. Menurut analisis Dr. Andi Rahman, sosiolog Universitas Padjadjaran, fenomena ini merupakan respons generasi Z terhadap kejenuhan kehidupan urban. “Senja dipilih sebagai metafora pelarian dari rutinitas yang mengikat. Di tengah hiruk-pikuk dunia maya, mereka mencari ketenangan melalui momen yang terasa personal,” ujarnya dalam diskusi bersama Kompas Muda (2023).
Di jagat media sosial, tagar #AnakSenja telah meraih lebih dari 500 ribu unggahan di Instagram dan TikTok. Kontennya beragam, kutipan puisi pendek tentang kesunyian, foto diri dengan siluet matahari terbenam, hingga video pendek bertema melankolis. Maya Sari, peneliti budaya digital Universitas Indonesia, menyebut ini sebagai bentuk “pembingkaian emosi secara visual”. “Ini bukan sekadar soal keindahan gambar, melainkan upaya menarasikan pergulatan identitas melalui estetika yang relatable,” jelasnya dalam penelitian Gen-Z and Digital Aesthetics (2022).
![]() |
Segelintir Anak Muda menikmati Senja yang sakral (Pexels.com/ Muhtar Suaib ) |
Budaya atau Gaya Hidup, Di Mana Garis Pemisah?
Bagi segelintir anak muda, menikmati senja adalah ritual yang sakral. Seperti dikisahkan Rara, mahasiswa Yogyakarta berusia 21 tahun, “Saya sering duduk sendiri di tepi pantai saat senja. Ini cara saya me-reset pikiran, bukan untuk pamer di media sosial.” Namun, survei Indonesia Youth Institute (2023) mengungkap fakta lain: 67% remaja mengaku ikut mengunggah foto senja agar tidak dianggap “kudet” (kurang update).
Fenomena ini juga mengundang pelaku industri kreatif dan brand komersial turut menggarap pasar. Kafe dengan konsep “sunset view” bermunculan, menawarkan spot foto instagenik. Merchandise bertuliskan golden hour atau sunset chaser pun laku keras. “Ini ironis,” ujar Maya Sari. “Di satu sisi, mereka ingin menjauhi kesan materialistis, tetapi di sisi lain, tren ini justru dikomersialisasi hingga kehilangan esensinya.”
Senja dan Bayang-Bayang Krisis Mental
Dr. Fitriani Agustina, psikolog klinis, menilai fenomena Anak Senja sebagai respons tidak langsung terhadap tekanan mental generasi muda. Data Kemenkes (2022) menyebut 34% remaja Indonesia menunjukkan gejala kecemasan dan depresi ringan. “Senja dianggap sebagai simbol harapan: meski hari berakhir, matahari akan terbit kembali. Ini mekanisme koping positif, selama tidak berubah menjadi escapisme,” paparnya.
Namun, kritik pedas dilontarkan kalangan seniman tradisi. “Dulu, orang menikmati senja dengan hening, merasakan kehadiran alam. Sekarang, yang ada hanya rebutan frame untuk konten. Estetika yang artifisial,” sindir Suryono, seniman teater asal Solo.
Epilog: Senja dalam Diam dan Gemuruh Zaman
Anak Senja mungkin adalah cermin zaman: pertemuan antara kerinduan akan makna dan tuntutan performativitas digital. Seperti senja itu sendiri, maknanya bisa berbeda bagi setiap orang. Bagi yang tulus, senja adalah ruang dialog dengan diri. Bagi yang terimbas tren, ia sekadar latar estetika. Namun, seperti diungkapkan Dr. Andi Rahman, “Selama manusia masih merindukan keindahan yang menyentuh jiwa, senja akan tetap menjadi saksi bisu yang paling memahami.”
Referensi:
1. Rahman, A. (2023). Wawancara Eksklusif: Fenomena Anak Senja dan Psikologi Urban. Universitas Padjadjaran. https://digilib.isi.ac.id/16069/1/E-Book%20Estetika%20Seni%20dan%20Media%202023.pdf
2. Sari, M. (2022). Gen-Z and Digital Aesthetics: Studi tentang Estetika Emosi di Media Sosial. Jurnal Budaya Digital UI. https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/69476/1/MENELUSURI%20JEJAK%20PERADABAN%20ISLAM%20SURAKARTA%20MELALUI%20PENDEKATAN%20MULTIDIMENSIONAL.pdf
3. Kementerian Kesehatan RI. (2022). Laporan Survei Kesehatan Mental Remaja Indonesia. https://ayosehat.kemkes.go.id/pentingnya-kesehatan-mental-bagi-remaja
4. Indonesia Youth Institute. (2023). Laporan Tren Media Sosial dan Perilaku Generasi Z. file:///C:/Users/Thinkpad%20X390/Downloads/31443-108851-1-PB.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar