Translate

Senin, 10 Maret 2025

Kemampuan Penting di 2030, Sudahkah Anda Memilikinya?

Dalam 10 tahun ke depan, arus perubahan digital, krisis iklim, dan dinamika global akan mengubah wajah dunia kerja secara signifikan. Laporan World Economic Forum (WEF) 2023 menyatakan, 65% pekerjaan yang ada saat ini akan digantikan oleh peran berbasis teknologi. Lantas, kemampuan apa yang harus dipelajari agar tetap relevan di era tersebut?

1. Penguasaan AI dan Kemampuan Digital

Kemampuan mengoperasikan dan memahami teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), machine learning, dan analisis data akan menjadi fondasi utama. WEF memproyeksikan, permintaan profesional di bidang AI akan meroket 40% per tahun hingga 2030. Dr. Anita Wijaya, ahli transformasi digital UI, menegaskan, “Masyarakat tak harus jadi programmer, tetapi wajib paham dasar cara teknologi ini bekerja.”

Kemampuan Digital sangat diperlukan (Pexels.com/Pavel-Danilyuk)


2. Daya Kreativitas dan Terobosan Baru

Mesin AI mungkin menggantikan pekerjaan rutin, namun kreativitas manusia tetap unggul. Menurut studi McKinsey & Company, permintaan pekerjaan yang mengandalkan creative thinking akan tumbuh 12% lebih cepat. Andi Tan, CEO startup edtech, menambahkan, “Di era otomatisasi, inovasi adalah kunci untuk tetap unggul.”

3. Kecerdasan Sosial dan Kerja Sama

Kemampuan berempati, berkomunikasi, dan berkolaborasi dalam tim multikultural semakin krusial. Data LinkedIn 2023 mengungkap, 78% perusahaan global lebih memilih kandidat dengan kecerdasan emosional (EQ) tinggi ketimbang IQ. “Teknologi menghubungkan sistem, tapi interaksi manusia tak tergantikan,” ujar Sarah Lim, psikolog industri.

4. Fleksibilitas dan Belajar Tanpa Henti

Perubahan yang cepat memaksa setiap individu mengadopsi pola pikir lifelong learning. UNESCO memperkirakan, 60% pekerja di 2030 perlu menguasai keterampilan yang bahkan belum terdefinisi saat ini. “Gelar akademis tak lagi cukup; kecepatan adaptasi adalah penentu,” kata Dimas Pratama, praktisi e-commerce.

5. Keahlian Lingkungan dan Bisnis Berkelanjutan

Isu lingkungan mendongkrak permintaan talenta di bidang energi terbarukan, ekonomi sirkular, dan penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance). Bappenas mencatat, Indonesia memerlukan 3,5 juta ahli sustainability hingga 2030. “Ini bukan sekadar tren, tapi upaya bertahan hidup,” tegas Nurul Hidayati, pegiat lingkungan.

6. Keamanan Digital: Tameng di Era Siber

Maraknya serangan siber dan kebocoran data meningkatkan permintaan ahli keamanan digital hingga 350% secara global (Cybersecurity Ventures). Rizal Halim, pakar TI, mengingatkan, “Di era serba digital, keamanan adalah prioritas utama perusahaan.”

Realita di Indonesia: Literasi Digital Masih Tertinggal

Kesenjangan penguasaan teknologi masih jadi masalah. Data Kemenkominfo (2023) menunjukkan hanya 45% masyarakat Indonesia yang memiliki literasi digital tingkat menengah. Namun, program seperti Digital Talent Scholarship dan Gerakan Nasional Literasi Digital mulai digencarkan untuk menjawab tantangan ini.

Sudah Siap Menyambut 2030?

Pertanyaan kritisnya bukan lagi “Apakah pekerjaan saya akan hilang?” melainkan “Seberapa cepat saya bisa berubah?” Mulailah dengan mengevaluasi kemampuan, mengikuti pelatihan daring, dan memperluas jaringan di bidang yang sedang berkembang. Seperti kata Charles Darwin, “Bukan yang terkuat yang bertahan, melainkan yang paling mampu beradaptasi.”

Sumber Data & Referensi :

  1. World Economic Forum (WEF) 2023
    •  (Bisa diakses di laporan WEF: "The Future of Jobs Report 2023")
  2. McKinsey & Company
    •  (Studi McKinsey: "Skill Shift: Automation and the Future of the Workforce")
  1. LinkedIn 2023
    •  (Laporan LinkedIn: "Global Talent Trends 2023")
  2. UNESCO
    •  (Laporan UNESCO: "Reimagining Our Futures Together: A New Social Contract for Education")
  3. Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)
    •  (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN 2024-2029)

Minggu, 09 Maret 2025

TikTokisasi Budaya, Konten Viral vs Ancaman terhadap Identitas Lokal

Dalam kurun waktu singkat, TikTok berubah menjadi kekuatan budaya yang mendominasi percakapan global. Platform berbagi video pendek ini tidak sekadar menghubungkan pengguna, tetapi juga menciptakan fenomena "TikTokisasi"—proses di mana konten viral mengubah cara masyarakat mengonsumsi budaya. Berdasarkan laporan DataReportal (2023), Indonesia menempati posisi kedua sebagai pasar terbesar TikTok di Asia Tenggara dengan 99,1 juta pengguna aktif. Di balik popularitasnya, muncul kekhawatiran: apakah algoritma TikTok yang membanjiri pengguna dengan tren seragam berpotensi mengaburkan identitas budaya lokal?

Diktat Algoritma, Bagaimana Konten Viral Dibentuk?

TikTok mengandalkan algoritma yang menganalisis perilaku pengguna secara instan. Studi Wallaroo Media (2022) menunjukkan bahwa 70% konten di For You Page (FYP) didominasi tren global seperti "Buss It Challenge" atau tarian "Renegade". Mekanisme ini, menurut Reuters Institute (2023), sering mengesampingkan konteks lokal demi mempertahankan interaksi pengguna.

Contohnya, lagu "Lagi Syantik" karya Siti Badriah viral di TikTok karena dianggap menghibur, meski mengandung kritik sosial. Namun, riset Pusat Studi Budaya Universitas Indonesia (2022) mengungkap hanya 12% kreator yang paham pesan di balik tren yang mereka ikuti. "Budaya hanya dijadikan sebagai konten hiburan, kehilangan nilai reflektifnya," jelas Dr. Aulia Nastiti, akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, dalam wawancara dengan Kompas (Maret 2023).

Seni Tradisi di Era Digital, Antara Peluang dan Tantangan

Di satu sisi, TikTok memberi napas baru bagi pelestarian budaya. Laporan UNESCO (2022) menyebutkan, platform ini berperan merevitalisasi minat generasi muda terhadap warisan budaya. Misalnya, tarian Gandrung dari Banyuwangi yang dihidupkan kembali lewat challenge #GandrungChallenge, atau pengrajin Tenun Flores yang memasarkan karya lewat livestream"Anak muda sekarang lebih tertarik belajar tenun setelah melihat konten di TikTok," ujar Maria Wonda, perajin asal Maumere, dalam dokumenter BBC Indonesia (2021).

Di sisi lain, tuntutan untuk viral kerap mengubah budaya menjadi komoditas. Penelitian Jurnal Antropologi Indonesia (2023) mengkritik praktik mempersingkat ritual sakral seperti Rambu Solo’ (Toraja) atau Nyekar (Jawa) agar sesuai dengan durasi konten. "Ini bukan pelestarian, tapi eksploitasi eksotisme budaya," tegas Ignasius Sandyawan, budayawan, dalam seminar Kemdikbudristek (2022).

Tiktok saat ini banyak yang disukai pengguna (Pexels.com/Mart Production)

Penyeragaman Budaya vs Adaptasi Kreatif

Data Katadata (2023) memaparkan, 60% konten populer di TikTok Indonesia diisi tren global, sementara konten bertema lokal hanya menyumbang 15%. Temuan ini sejalan dengan survei Global Web Index (2023) yang menyatakan 58% Gen Z Indonesia lebih menyukai konten berbahasa asing. Survei Kemendikbudristek (2022) juga mencatat, 70% remaja perkotaan tidak mampu menyebutkan tarian khas daerahnya.

Meski demikian, adaptasi kreatif tetap muncul. Challenge #OtwMakanSate yang menggabungkan musik elektronik dengan suasana warung sate, atau inovasi "Keroncong Remix" oleh DJ muda, membuktikan budaya lokal bisa bersaing. "Kuncinya adalah memimpin tren, bukan hanya jadi pengekor," tutur Andien Aisyah, musisi yang memadukan jazz dan gamelan, dalam podcast Mata Najwa (April 2023).

Solusi Kolaboratif, Literasi hingga Regulasi

Untuk mencegah tergerusnya identitas lokal, diperlukan langkah strategis. Pertama, meningkatkan pemahaman digital yang berlandaskan kearifan lokal di institusi pendidikan, sesuai rekomendasi Kominfo (2022). Kedua, pemerintah perlu memperkuat regulasi seperti RUU Perlindungan Data dan revisi UU ITE untuk mendorong konten edukatif. Ketiga, mendukung kreator lokal melalui program kolaborasi, seperti inisiatif TikTok Southeast Asia Cultural Heritage Initiative.

"Modernitas dan tradisi harus berjalan beriringan, bukan saling meniadakan," tulis Seno Gumira Ajidarma dalam buku Budaya di Ujung Jari (2020). Di tengah gempuran konten viral, identitas lokal hanya akan bertahan jika dirawat secara kritis dan kreatif.

Sumber Referensi

  1. DataReportal. (2023). Digital 2023: Indonesia. https://datareportal.com/reports/digital-2023-indonesia
  2. UNESCO. (2022). Safeguarding Intangible Cultural Heritage in the Digital Age.

https://www.unesco.org/en/intangible-cultural-heritage

  1. Katadata. (2023). Laporan Tren Konten Digital Indonesia.

https://databoks.katadata.co.id/teknologi-telekomunikasi/statistik/67ac7f363ab9f/pertumbuhan-jumlah-usaha-e-commerce-di-indonesia-2022-2023

  1. Jurnal Antropologi Indonesia. (2023). Komodifikasi Budaya di Media Sosial: Studi Kasus TikTok. Filosofi+vol+3+no+1+februari+2025+hal+75-88.pdf
  2. BBC Indonesia. (2021). Tenun Flores: Merajut Tradisi di Era Digital. https://jurnalkainawa.baubaukota.go.id/index.php/knw/article/view/56

Sabtu, 08 Maret 2025

Kendaraan Listrik, Bisakah Menggeser Dominasi Bahan Bakar Fosil di 2030?

Di tengah ancaman iklim yang semakin nyata, kendaraan listrik (EV) disebut-sebut sebagai jawaban atas krisis transportasi berkelanjutan. Namun, mampukah teknologi ini merebut tahta bahan bakar fosil yang telah berkuasa lebih dari satu abad? Menjelang target emisi nol-bersih 2050, apakah EV sanggup menjadi pemenang utama dalam tujuh tahun mendatang?

1. Laju Pertumbuhan Menggembirakan, Tapi Pasar Masih Terbatas

Berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA), penjualan EV global meroket 55% pada 2022, menembus angka 10 juta unit. China memegang kendali dengan pangsa pasar 60%, disusul Eropa (21%) dan AS (8%). Namun, EV baru mencakup 14% dari total penjualan mobil baru dunia.
“Pertumbuhan EV ibarat pelari yang melesat di start, tetapi hambatan terbesar ada di garis akhir,” ujar Fatih Birol, Direktur Eksekutif IEA.

Di Indonesia, penjualan EV hanya menyentuh 15.000 unit pada 2023 (data Gaikindo), atau kurang dari 2% total pasar otomotif. Padahal, pemerintah mencanangkan produksi mobil listrik mencapai 20% pada 2025.

Mobil listrik banyak model dipasaran (Paxxels.com/Mikebirday)

2. Infrastruktur dan Baterai,  Kendala Utama Pengembangan EV

  • Jaringan Pengisian Daya, rasio EV dengan stasiun pengisian global masih 10:1. Di Indonesia, hanya tersedia 500 stasiun untuk melayani lebih dari 2.000 unit EV.
  • Biaya Baterai, harga baterai lithium-ion turun 89% sejak 2010 (menurut BloombergNEF), namun harga komponen seperti nikel dan kobalt masih tidak stabil.
  • Ketergantungan pada Impor, China menguasai 70% produksi baterai global. Sementara AS dan Eropa membangun pabrik baterai mandiri, Indonesia mengandalkan nikel untuk masuk ke rantai pasok global.

“Tanpa penurunan harga baterai, EV hanya akan jadi mainan kalangan elite,” tegas Dr. Andi Sudirman, peneliti energi ITB.

3. Bahan Bakar Fosil, Bertahan dengan Inovasi dan Kekuatan Politik

Industri bahan bakar fosil tak tinggal diam menghadapi gempuran EV:

  • Biofuel, Pertamina dan Shell menggarap B35 serta bensin sintetis berbasis bahan organik.
  • CCS (Carbon Capture Storage), teknologi penangkapan karbon diyakini memperpanjang umur industri minyak dan gas.
  • Pengaruh Politik, perusahaan minyak AS menggelontorkan $200 juta untuk melobi kebijakan anti-EV pada 2022 (OpenSecrets).

“Mereka punya sumber daya, jaringan, dan pengaruh yang kuat. EV harus berlari lebih kencang,” ungkap Lisa Friedman, jurnalis The New York Times.

4. Kontroversi Lingkungan, Seberapa Hijaukah EV?

  • Emisi dari Produksi, proses produksi baterai EV menghasilkan 60% lebih banyak emisi ketimbang mobil konvensional (Studi MIT).
  • Dampak Pertambangan, eksploitasi nikel di Sulawesi dan lithium di Chile mengancam ekosistem setempat.
  • Sistem Daur Ulang, hanya 5% baterai EV yang didaur ulang secara global akibat minimnya regulasi.

“EV bukan tanpa cela, tapi dalam 10 tahun pemakaian, emisinya tetap lebih rendah 30% dibanding mobil berbahan bakar fosil,” jelas Jane Nakano, analis CSIS.

5. Kebijakan Negara, Antara Ambisi dan Realita

  • Norwegia, paling progresif — 80% mobil baru pada 2023 adalah EV, menargetkan 100% pada 2025.
  • Uni Eropa, akan melarang penjualan mobil mesin pembakaran internal mulai 2035.
  • AS, memberikan subsidi $7.500 per unit EV melalui Inflation Reduction Act.
  • Indonesia, memberikan insentif pajak 0%, namun harga EV tetap di atas Rp500 juta.

“Insentif perlu dibarengi regulasi seperti pajak karbon untuk mobil konvensional,” usul Fabby Tumiwa, Direktur IESR.

6. Indonesia, Kaya Nikel, Namun Minim Nilai Tambah

Meski memiliki 24% cadangan nikel global, Indonesia masih terjebak dalam ketergantungan:

  • Ekspor Bahan Mentah, pabrik baterai masih dikuasai perusahaan asing seperti CATL (China) dan LG (Korea).
  • Energi Kotor,  60% listrik nasional bersumber dari batu bara — paradoks bagi industri EV yang dianggap ramah lingkungan.

“Kita ekspor bahan baku ke China, lalu mengimpor produk jadi dengan harga fantastis,” kritik Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian.

Proyeksi 2030, Optimisme vs Realitas Pahit

BloombergNEF memprediksi EV akan kuasai 50% pasar mobil global pada 2030. Namun, sejumlah analis meragukannya:

  • Kesenjangan Global,  EV akan mendominasi di Eropa dan China, sementara negara berkembang tetap bergantung pada mobil bekas berbahan bakar fosil.
  • Transisi Energi Lambat,  jika pasokan listrik tetap bergantung pada fosil, emisi EV tidak akan berkurang signifikan.

“EV mungkin menang di perkotaan, tapi di daerah terpencil, BBM tetap primadona,” ujar Dr. Tata Mustasya, Greenpeace Asia Tenggara.

Pertarungan yang Belum Berakhir

Persaingan EV dan bahan bakar fosil bukan sekadar soal teknologi, melainkan perebutan pengaruh politik, ekonomi, dan keadilan iklim. Pada 2030, EV mungkin unggul di pasar tertentu, tetapi bahan bakar fosil belum akan punah. Kunci keberhasilan terletak pada transisi inklusif — tidak hanya mengganti kendaraan, tetapi membangun ekosistem transportasi berkelanjutan dari hulu ke hilir.

“Jangan fanatik pada EV. Yang penting adalah mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, apa pun jenisnya,” tegas Najwa Shihab, pegiat transportasi berkelanjutan.

  Sumber Referensi:

Jumat, 07 Maret 2025

5 Tip Kebiasaan Miliarder , Pelajaran dari Musk, Gates, dan Bezos

Miliarder seperti Elon Musk (CEO Tesla dan SpaceX), Bill Gates (Pendiri Microsoft), dan Jeff Bezos (Pendiri Amazon) tidak mencapai kesuksesan hanya karena keberuntungan. Di balik kekayaan dan pengaruh mereka, ada kebiasaan unik yang konsisten dijalani. Berikut lima kebiasaan yang bisa kita pelajari dari para visioner ini:

1. Baca Buku Setiap Hari,  Investasi Pengetahuan

Elon Musk dikenal sebagai "pembaca obsesif". Sejak kecil, ia menghabiskan 10 jam sehari membaca ensiklopedia dan buku sains. Bill Gates juga rutin membaca 50 buku per tahun dan membagikan rekomendasi bukunya di blog pribadi. Jeff Bezos mengaku belajar bisnis dari buku The Innovator’s Dilemma.

Membaca memperluas perspektif, merangsang kreativitas, dan membantu mengambil keputusan berbasis data.

Luangkan 30 menit sehari untuk membaca buku non-fiksi atau artikel terkait bidang yang ingin Anda kuasai.

2. Fokus pada Solusi, Bukan Masalah

Ketika SpaceX gagal meluncurkan roket Falcon 1 tiga kali berturut-turut, Elon Musk tidak menyerah. Ia menganalisis kegagalan, memperbaiki desain, dan akhirnya sukses pada peluncuran keempat. Bill Gates juga selalu menekankan pentingnya problem-solving mindset dalam menghadapi krisis, seperti saat Microsoft menghadapi persaingan dengan Apple di era 1980-an.

Miliarder melihat masalah sebagai peluang untuk berinovasi.

Latih diri untuk bertanya, "Bagaimana cara memperbaiki ini?" alih-alih mengeluh.

3. Kelola Waktu dengan Ketat ,  "Time Blocking"

Elon Musk membagi harinya menjadi blok waktu 5 menit untuk memaksimalkan produktivitas. Jeff Bezos terkenal dengan rapat pagi yang singkat (tanpa PowerPoint!) dan fokus pada high-impact decisions. Bill Gates bahkan membuat jadwal tidur dan olahraga yang ketat selama memimpin Microsoft.

Waktu adalah aset paling berharga. Manajemen waktu yang baik mencegah burnout dan meningkatkan efisiensi.

Gunakan teknik time blocking atau aplikasi seperti Google Calendar untuk mengatur prioritas harian.

4. Berani Ambil Risiko,  Tapi Terkalkulasi

Musk mempertaruhkan seluruh kekayaannya untuk mendanai SpaceX dan Tesla saat kedua perusahaan itu hampir bangkrut. Bezos meninggalkan karir stabil di Wall Street untuk mendirikan Amazon dari garasi. Gates mengambil risiko dengan menjual sistem operasi Windows sebelum produknya benar-benar siap.

Kesuksesan besar membutuhkan keberanian mengambil risiko, tetapi selalu didukung oleh riset dan perencanaan matang.

Hitung risk-reward ratio sebelum mengambil keputusan besar. Mulailah dengan risiko kecil untuk melatih mental.

5. Bangun Jaringan dan Tim yang Solid

Jeff Bezos percaya bahwa "Anda adalah rata-rata dari 5 orang di sekitar Anda". Ia mengelilingi diri dengan ahli logistik, teknologi, dan pemasaran untuk membangun Amazon. Bill Gates menggandeng Steve Ballmer dan Paul Allen untuk mengembangkan Microsoft. Elon Musk merekrut insinyur terbaik di dunia untuk misi SpaceX.

Tidak ada orang yang sukses sendirian. Tim yang kompeten dan jaringan yang kuat adalah kunci pertumbuhan bisnis.

Hadiri komunitas atau seminar, dan jangan ragu merekrut orang yang lebih ahli dari Anda.

Kebiasaan para miliarder ini bukanlah rahasia. Kuncinya adalah konsistensi dan disiplin.  Elon Musk berkata , "Jika sesuatu cukup penting, Anda harus melakukannya meski peluangnya tidak memihak."

Mulailah dengan satu kebiasaan kecil hari ini. Siapa tahu, Anda bisa menjadi generasi miliarder berikutnya!

Disadur dari :

Elon Musk: Tesla, SpaceX, and the Quest for a Fantastic Future oleh Ashlee Vance, https://www.amazon.com/Elon-Musk-SpaceX-Fantastic-Future/dp/006230125X

The Bezos Blueprint oleh Carmine Gallo, https://www.youtube.com/watch?v=hVnn7RLgo4k

Bill Gates : tentang kebiasaan membaca harian, https://www.getsomethinggreat.com/post/the-one-habit-that-made-bill-gates-warren-buffett-and-barack-obama-wildly-successful



Selasa, 04 Maret 2025

Indonesia Pertimbangan Pembatasan Media Sosial untuk Anak di Bawah 16 Tahun

Indonesia sedang mempertimbangkan untuk mengikuti langkah Australia dalam membatasi akses media sosial bagi anak di bawah 16 tahun. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan media sosial yang tidak terkendali, terutama dalam hal peningkatan perjudian online di kalangan remaja.

Mengapa Pembatasan Ini Diperlukan?

·       Penggunaan media sosial oleh anak-anak dan remaja terus meningkat, membawa berbagai dampak baik positif maupun negatif. Namun, beberapa kekhawatiran utama yang mendasari pembatasan ini meliputi:

·       Paparan terhadap Perjudian Online , banyak situs dan aplikasi yang menampilkan iklan perjudian atau tautan ke platform perjudian. Remaja yang masih dalam tahap eksplorasi bisa dengan mudah tergoda untuk mencoba permainan yang awalnya tampak tidak berbahaya, tetapi pada akhirnya berujung pada kecanduan dan masalah finansial.

·       Kesehatan Mental , media sosial dapat menjadi sumber tekanan bagi anak-anak dan remaja. Perbandingan sosial yang berlebihan, cyberbullying, serta ekspektasi yang tidak realistis dapat meningkatkan risiko kecemasan, depresi, dan gangguan kepercayaan diri.

·       Keamanan Data Pribadi , anak-anak cenderung kurang memahami risiko berbagi informasi pribadi di internet. Tanpa perlindungan yang memadai, mereka bisa menjadi target eksploitasi, pencurian data, atau manipulasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

·       Gangguan dalam Perkembangan Sosial , interaksi langsung dengan teman sebaya sangat penting bagi perkembangan sosial dan emosional anak-anak. Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menghambat kemampuan komunikasi interpersonal mereka dan menggantikan aktivitas yang lebih sehat seperti olahraga atau membaca.

Pembatasan Medsos bagai anak akan berdampak baik (Pexels.com/RDNE Stock Project )


Langkah-Langkah yang Sedang Dikaji Pemerintah

Untuk menerapkan pembatasan yang efektif, pemerintah sedang mengkaji beberapa strategi, antara lain:

·       Verifikasi Usia yang Ketat , mewajibkan platform media sosial untuk menerapkan sistem verifikasi usia yang lebih kuat guna memastikan hanya pengguna yang memenuhi batas usia yang dapat mendaftar dan menggunakan layanan.

·       Penguatan Kontrol Orang Tua , menyediakan fitur yang lebih canggih bagi orang tua agar dapat memantau dan membatasi aktivitas media sosial anak-anak mereka.

·       Sosialisasi dan Edukasi Digital , mengadakan program edukasi bagi anak-anak, orang tua, dan sekolah mengenai risiko serta dampak dari penggunaan media sosial yang tidak terkontrol.

·       Kerja Sama dengan Platform Digital , berkolaborasi dengan perusahaan media sosial untuk meningkatkan keamanan serta menekan penyebaran konten yang tidak pantas bagi anak-anak.

·       Pembatasan Iklan Perjudian Online , mengatur dan membatasi iklan perjudian agar tidak mudah diakses atau muncul di platform yang sering digunakan oleh anak-anak dan remaja.

Tanggapan Publik,  Pro dan Kontra

Rencana pembatasan ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat.

Pendukung Kebijakan berpendapat bahwa langkah ini sangat diperlukan untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial. Mereka percaya bahwa regulasi yang lebih ketat dapat membantu menciptakan lingkungan digital yang lebih aman.

Penentang Kebijakan menganggap pembatasan ini dapat menghambat kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi. Beberapa juga berpendapat bahwa orang tua seharusnya memiliki tanggung jawab utama dalam mengawasi penggunaan media sosial anak-anak mereka, bukan pemerintah.

Pembatasan akses media sosial bagi anak di bawah 16 tahun merupakan langkah penting yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia untuk menjaga kesehatan mental, keamanan, dan perkembangan sosial remaja. Dengan regulasi yang tepat serta dukungan dari orang tua, sekolah, dan platform digital, diharapkan anak-anak dapat tetap menikmati manfaat teknologi tanpa harus menghadapi risiko yang berbahaya bagi masa depan mereka.

Sumber : https://www.kompas.id/artikel/pengaturan-batas-usia-akses-media-sosial-harus-dikaji-mendalam-jangan-hanya-ikut-tren-global

Senin, 24 Februari 2025

Kerja Remote vs. Kerja Kantoran, Mana yang Lebih Worth It?

Di era digital seperti sekarang, semakin banyak orang beralih ke kerja remote. Tapi, apakah benar-benar lebih baik daripada kerja kantoran? Yuk, kita bahas satu per satu plus-minusnya biar nggak bingung menentukan mana yang lebih worth it buat kamu!

Fleksibilitas Waktu vs. Kedisiplinan Rutinitas

Kerja remote menawarkan fleksibilitas waktu yang tinggi. Kamu bisa kerja dari mana saja, di rumah, kafe, atau bahkan sambil liburan. Nggak perlu bangun pagi-pagi buat ke kantor atau terjebak macet.

Tapi di sisi lain, kerja kantoran memberikan rutinitas yang lebih terstruktur. Ada jam kerja yang jelas, yang membantu kamu lebih disiplin dan fokus. Kalau kerja remote tanpa manajemen waktu yang baik, bisa-bisa malah jadi kerja terus tanpa batas waktu!

Solusi, kalau kamu memilih kerja remote, buatlah jadwal kerja yang jelas dan patuhi agar tetap produktif.

Kerja bisa dari mana saja (Pexels.com/Misbaa Eri)

Biaya dan Efisiensi Pengeluaran

Bekerja dari rumah jelas lebih hemat! Nggak perlu keluar uang buat ongkos transportasi, beli makan siang di luar, atau beli outfit kerja tiap bulan.

Sebaliknya, kerja kantoran sering kali butuh biaya tambahan. Tapi, di kantor biasanya ada fasilitas seperti makan siang gratis, AC, dan internet stabil yang bisa jadi nilai tambah.

Solusi, kalau kerja remote, pastikan punya lingkungan kerja yang nyaman di rumah dan investasi pada internet yang stabil agar tetap produktif.

Interaksi Sosial vs. Kesendirian

Di kantor, kamu bisa langsung ngobrol dengan rekan kerja, bertukar ide, atau bahkan sekadar ngopi bareng buat melepas stres.

Tapi kalau kerja remote, interaksi sosial bisa berkurang drastis. Bekerja sendirian di rumah bisa bikin bosan atau merasa terisolasi.

Solusi, kalau kerja remote, coba aktif dalam komunitas atau coworking space agar tetap punya interaksi sosial.

Kesempatan Karier dan Konektivitas

Kerja kantoran biasanya memberikan lebih banyak kesempatan buat membangun jaringan dan promosi jabatan. Atasan bisa melihat langsung kinerja kamu dan lebih mudah mempertimbangkan kenaikan posisi.

Sementara itu, kerja remote bisa membuat kamu kurang terlihat dalam tim, terutama kalau komunikasi kurang efektif.

Solusi, jika kerja remote, seringlah berkomunikasi dengan tim, aktif dalam meeting, dan tunjukkan hasil kerja agar tetap terlihat oleh perusahaan.

Mana yang Lebih Worth It?

Nggak ada jawaban mutlak! Semua tergantung kebutuhan dan preferensi kamu.

  • Kalau kamu suka fleksibilitas dan lebih mandiri dalam bekerja, kerja remote bisa jadi pilihan terbaik.
  • Kalau kamu butuh rutinitas, interaksi sosial, dan jenjang karier yang lebih jelas, kerja kantoran lebih cocok.

Pilihlah yang paling sesuai dengan gaya hidup dan tujuan karier kamu!


Minggu, 23 Februari 2025

Menjadi ‘Anak Senja’, Budaya Estetika atau Sekadar Gaya?

Fenomena ‘Anak Senja’ di Kalangan Anak Muda

Belakangan ini, istilah ‘anak senja’ semakin populer di media sosial. Mereka dikenal dengan gaya hidup yang cenderung puitis, menikmati kopi di kedai estetik, mendengarkan musik indie, serta mengagumi keindahan matahari terbenam. Banyak yang menganggap ini sebagai bentuk budaya estetika, namun ada pula yang menilai ini sekadar tren atau pencitraan belaka.

Fenomena ini menarik perhatian karena seolah-olah menjadi bagian dari identitas anak muda masa kini. Namun, apakah benar anak senja adalah gaya hidup yang mendalam atau hanya sekadar tren sesaat?

Anak Senja Trend Remaja (Pexels.com/Muhtar Suaib M)


Budaya Estetika dalam Fenomena ‘Anak Senja’

Anak senja sering dikaitkan dengan kepekaan terhadap seni, puisi, musik, dan keindahan alam. Mereka menikmati momen tenang, sering menulis caption atau puisi bernuansa melankolis, serta memiliki ketertarikan pada hal-hal yang dianggap estetik. Budaya ini bisa dianggap sebagai cara berekspresi dan menenangkan diri dari kesibukan dunia modern.

Contoh budaya estetika anak senja:

  • Menulis puisi atau prosa tentang kehidupan, cinta, dan alam.
  • Memilih pakaian dengan warna-warna earthy tone, seperti cokelat, krem, atau oranye.
  • Sering mengunjungi tempat-tempat yang dianggap estetik, seperti pantai saat matahari terbenam atau kedai kopi dengan nuansa vintage.
  • Mendengarkan musik indie yang liriknya puitis dan penuh makna.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga orang yang hanya ikut-ikutan tanpa benar-benar memahami esensi dari budaya ini.

‘Anak Senja’ sebagai Sekadar Gaya Hidup

Di sisi lain, banyak yang mengkritik fenomena anak senja sebagai gaya hidup yang dangkal dan penuh pencitraan. Tidak sedikit yang memanfaatkan tren ini untuk membangun persona di media sosial demi mendapatkan validasi dari orang lain.

Tanda-tanda ‘anak senja’ yang hanya sekadar gaya:

  • Lebih sering mengunggah foto estetik tanpa benar-benar menikmati momennya.
  • Menggunakan kata-kata puitis hanya untuk mendapatkan perhatian.
  • Menganggap diri lebih ‘berbeda’ atau lebih dalam daripada orang lain hanya karena suka senja dan musik indie.
  • Bergaya seolah memahami seni, tetapi sebenarnya hanya mengikuti tren agar terlihat menarik.

Jika budaya anak senja hanya sekadar gaya tanpa makna, maka nilai estetika yang sebenarnya bisa kehilangan esensinya dan berujung menjadi tren sesaat.

Masalah yang Bisa Muncul dari Tren Ini

Meskipun tidak ada yang salah dengan menikmati estetika senja, ada beberapa masalah yang bisa muncul jika budaya ini hanya dijadikan sebagai tren:

  • Kehilangan Keaslian, ketika terlalu banyak orang yang ikut-ikutan tanpa memahami esensinya, budaya ini bisa kehilangan makna asli.
  • Tekanan Sosial, banyak yang merasa harus tampil sebagai ‘anak senja’ agar diterima di lingkungan tertentu.
  • Ketergantungan pada Validasi Media Sosial, jika motivasi utama adalah pujian dari orang lain, maka kebahagiaan menjadi tidak autentik.

Solusi, Menikmati Senja dengan Makna yang Lebih Dalam

Agar fenomena ini tetap bermakna, ada beberapa cara agar anak senja tidak hanya sekadar gaya hidup kosong:

  1. Jujur dengan Diri Sendiri, jika memang menyukai estetika senja, nikmatilah dengan tulus tanpa harus membuktikannya ke orang lain.
  2. Perdalam Pemahaman Seni dan Sastra, jika tertarik dengan puisi dan seni, pelajari lebih dalam agar tidak sekadar mengikuti tren.
  3. Kurangi Ketergantungan pada Media Sosial, nikmati senja tanpa harus selalu mengunggahnya.
  4. Berbagi dengan Sesama, gunakan kepekaan estetika ini untuk menghasilkan karya yang bisa menginspirasi, bukan hanya sekadar pencitraan.

Menjadi ‘anak senja’ bisa menjadi sesuatu yang bermakna jika dilakukan dengan tulus dan bukan sekadar tren untuk mendapatkan validasi sosial. Tidak ada yang salah dengan menikmati keindahan alam, puisi, atau musik indie, selama itu memang mencerminkan diri yang sebenarnya.

Jadi, apakah kamu benar-benar menikmati senja atau hanya sekadar ingin terlihat keren di media sosial?