Selama bertahun-tahun, Ade (15) asal Nigeria harus bergantung pada transfusi darah bulanan untuk bertahan dari anemia sel sabit, penyakit genetik yang mengubah sel darah merahnya menjadi kaku dan berbentuk sabit. Rasa nyeri hebat, kerusakan organ, dan ancaman hidup pendek menjadi bagian dari kesehariannya. Namun, sejak awal 2023, remaja ini merasakan kehidupan baru setelah menjalani terapi gen CRISPR-Cas9, teknologi revolusioner yang memungkinkan penyuntingan DNA. “Sekarang saya bisa bermain dan belajar seperti teman-teman,” ujarnya dengan senyum lega. Kisah Ade adalah bukti nyata bagaimana sains sedang menulis ulang masa depan pengobatan penyakit genetik.
Anemia Sel Sabit, Beban Global yang Terabaikan
Anemia sel sabit, kelainan genetik akibat mutasi pada
gen HBB, menyebabkan hemoglobin, protein pembawa oksigen, kehilangan
bentuk normalnya. Data WHO menyebutkan, lebih dari 300.000 bayi lahir dengan
kondisi ini tiap tahun, dengan 75% kasus terkonsentrasi di Afrika Sub-Sahara.
Sebelum CRISPR, pilihan terapi terbatas pada transfusi darah yang berisiko
kelebihan zat besi atau transplantasi sumsum tulang dengan donor yang sulit
ditemukan.
“Selain rasa sakit fisik, pasien sering mengalami
diskriminasi karena dianggap tidak produktif,” ungkap Dr. Siti Rahayu, ahli
hematologi di RSUP Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
![]() |
Penderita Anemia Sel Sabit dapat disembuhkan (Pexels.com/Tima Miroshnichenko) |
CRISPR-Cas9, Teknologi Penyunting Gen Penyelamat
CRISPR-Cas9, sistem penyunting gen yang terinspirasi dari
mekanisme pertahanan bakteri, memungkinkan ilmuwan memodifikasi DNA dengan
akurasi tinggi. Untuk anemia sel sabit, teknologi ini difokuskan pada
pengaktifan kembali gen hemoglobin fetal (HbF)—jenis hemoglobin
yang biasanya hanya aktif pada janin. HbF mampu mencegah pembentukan sel sabit
dan menjaga aliran oksigen tetap lancar.
Hasil uji klinis fase III oleh Vertex
Pharmaceuticals dan CRISPR Therapeutics (2022)
membawa kabar menggembirakan: 97% peserta (30 dari 31 pasien) terbebas
dari episode nyeri kritis selama setahun pascaterapi. Kesuksesan ini mendorong
Badan Pengawas Obat AS (FDA) menyetujui terapi exagamglogene autotemcel
(exa-cel) pada akhir 2023—terapi CRISPR pertama di dunia untuk anemia
sel sabit.
Prosedur Terapi, Transformasi Sel Punca Menjadi Penyembuh
Terapi CRISPR untuk anemia sel sabit melibatkan empat tahap
krusial:
- Isolasi
Sel Punca: Sel punca pembentuk darah diambil dari sumsum tulang
pasien.
- Modifikasi
Genetik: Di laboratorium, CRISPR digunakan untuk mengaktifkan produksi
HbF dalam sel tersebut.
- Persiapan
Tubuh: Pasien menjalani kemoterapi ringan untuk membersihkan sumsum
tulang yang bermasalah.
- Infusi
Sel: Sel yang telah dimodifikasi dimasukkan kembali ke tubuh, lalu
membentuk sel darah merah sehat.
“Proses ini seperti mengembalikan ‘pabrik’ darah ke kondisi
optimalnya saat masa bayi,” jelas Prof. David Liu, pakar biologi sintetis di
Broad Institute MIT-Harvard.
Dilema di Balik Kesuksesan, Mahalnya Terapi dan
Kesenjangan Global
Meski efektif, terapi ini masih menghadapi tantangan
besar: biaya. Exa-cel diprediksi memakan biaya hingga USD
2,2 juta per pasien—harga yang fantastis bagi negara berkembang. Di
Nigeria, kurang dari 1% penderita anemia sel sabit memiliki akses ke pengobatan
dasar, apalagi terapi mutakhir seperti CRISPR.
Isu etis juga mengemuka, terutama terkait risiko
penyuntingan gen tidak sengaja (off-target effects) dan kesenjangan
akses antara negara kaya dan miskin. Dr. Haydar Frangoul, peneliti utama uji
klinis, menegaskan, “Kami berkomitmen bekerja sama dengan organisasi global
untuk meningkatkan keterjangkauan.”
Peluang bagi Indonesia, Mempersiapkan Infrastruktur dan
SDM
Di Indonesia, anemia sel sabit sering kali tertukar
diagnosis dengan malaria atau talasemia. Kementerian Kesehatan mencatat sekitar
1.500 kasus baru per tahun, terutama di wilayah timur Indonesia.
Dr. Siti Rahayu mengungkapkan, RSUP Cipto Mangunkusumo
sedang menjajaki kerja sama dengan institusi internasional untuk mengadopsi
terapi gen. “Infrastruktur laboratorium biosafety level 3 dan regulasi ketat
menjadi prasyarat utama,” tegasnya.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-4495080121929693"
crossorigin="anonymous"></script>
Masa Depan CRISPR, Dari Penyakit Genetik hingga Terapi
Universal
Keberhasilan CRISPR pada anemia sel sabit membuka pintu bagi
terapi penyakit genetik lain, seperti talasemia beta dan distrofi otot.
Perusahaan seperti Intellia Therapeutics bahkan mengembangkan
CRISPR in vivo—penyuntingan gen langsung di dalam tubuh tanpa perlu
transplantasi sel.
“Dalam satu dekade, CRISPR bisa menjadi solusi untuk puluhan
penyakit yang sebelumnya dianggap tak tersembuhkan,” ujar Prof. Jennifer
Doudna, peraih Nobel Kimia 2020 untuk penemuan CRISPR.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-4495080121929693"
crossorigin="anonymous"></script>
Sumber dan Referensi
1.
Hasil Uji Klinis (2022): New
England Journal of Medicine: Efektivitas
CRISPR untuk Anemia Sel Sabit, https://respiratory--therapy-com.translate.goog/disorders-diseases/chronic-pulmonary-disorders/chronic-diseases/fda-approves-crispr-sickle-cell-disease/
2.
Persetujuan FDA (2023): Siaran Resmi FDA: Persetujuan Terapi Gen Pertama, https://investorrelations.sarepta.com/news-releases/news-release-details/sarepta-therapeutics-announces-fda-approval-elevidys-first-gene
3.
Laporan WHO (2023): WHO: Strategi
Penanganan Anemia Sel Sabit di Afrika, https://www.afro.who.int/health-topics/sickle-cell-disease
4.
Wawancara Prof. David Liu (2023): Nature: Perkembangan
Terkini CRISPR. https://www.nature.com/collections/cpzkghhnlg
5.
Analisis Biaya Terapi (2023): Health
Affairs: Tantangan Ekonomi Terapi Gen. https://www.healthaffairs.org/doi/10.1377/hlthaff.2020.01560
Tidak ada komentar:
Posting Komentar