Minggu, 13 April 2025

Buat Konten Edukasi Malah Kena Bullying, Tantangan & Solusi Digital

Era digital membuka peluang besar bagi konten edukasi untuk berkembang pesat. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram ramai diisi kreator yang berbagi pengetahuan, mulai dari sains hingga kesehatan mental. Laporan We Are Social 2023 mengungkap, 62,3% pengguna internet Indonesia mengonsumsi konten edukasi secara rutin. Namun, di balik manfaatnya, banyak kreator justru menjadi sasaran cibiran, ujaran kebencian, bahkan ancaman doxxing. Mengapa niat baik berbagi ilmu berujung pada perundungan? Apa dampaknya, dan bagaimana solusinya?

Sedang membuat konten edukasi (Pexels.com/River-Augustin)

Ketika Edukator Jadi Target Bullying

Contoh nyata terjadi pada Maret 2024, ketika dokter muda @DokterAini di TikTok mendapat hinaan terkait penampilannya, padahal kontennya fokus pada edukasi kesehatan reproduksi. Kasus serupa menimpa YouTuber sejarah @NusantaraHistoria yang dituduh menyebarkan "informasi sesat" saat mengulas dinamika politik era Orde Baru.

Data Survei APJII 2023 menunjukkan, 49,8% pengguna internet Indonesia pernah mengalami perundungan daring, dengan 34% korbannya berasal dari kalangan profesional, termasuk edukator. Komnas Perlindungan Anak (PA) juga mencatat kenaikan 20% laporan cyberbullying pada 2023, di mana banyak korban adalah kreator konten edukasi.

Mengapa Mereka Dijadikan Sasaran?

  1. Efek "Topeng" Anonimitas
    Psikolog John Suler dalam teori Online Disinhibition Effect (2004) menyebut, anonimitas daring membuat orang merasa bebas melanggar norma. "Identitas virtual" memberi keberanian untuk bersikap agresif tanpa takut konsekuensi.
  2. Pertentangan dengan Keyakinan Audiens
    Konten edukasi kerap mengusik keyakinan yang sudah mapan. Misalnya, edukator perubahan iklim kerap dihujani komentar negatif dari kelompok yang menolak fakta ilmiah. Pew Research Center (2021) menemukan, 56% masyarakat AS percaya pada misinformasi iklim—tren serupa terjadi di Indonesia.
  3. Algoritma yang Mengadu Domba
    Konten provokatif cenderung mendapat engagement tinggi, sehingga algoritma media sosial secara tak langsung "memprioritaskan" komentar negatif. Riset Nature Communications (2022) membuktikan, cuitan bermuatan kebencian memiliki peluang 3x lebih besar untuk viral dibanding konten positif.
  4. Proyeksi Rasa Tidak Mampu
    Menurut psikolog Dr. Novi Qonitatin, M.Psi., "Bullying sering muncul dari rasa inferior pelaku. Edukator yang dianggap kompeten bisa memicu kecemburuan."

Dampak yang Mengkhawatirkan
Bullying tidak hanya menyakiti secara personal, tetapi juga menghambat distribusi ilmu. Survei KemenPPPA (2023) terhadap 500 korban cyberbullying mengungkap:

  • 45% mengalami gangguan kecemasan.
  • 30% kehilangan semangat membuat konten.
  • 15% memutuskan menghapus akun media sosial.

"Banyak edukator memilih mundur karena takut dihujat. Ini ancaman bagi literasi digital," tegas Aulia Putri, konselor dari Into the Light Indonesia.

Langkah Solutif, dari Individu hingga Sistem

  1. Strategi Bertahan bagi Kreator
    • Manfaatkan fitur penyaring komentar (seperti keyword filter di Instagram).
    • Bentuk aliansi dengan komunitas pendukung, seperti Sobat Edukasi yang aktif melaporkan akun perundung.
  2. Tanggung Jawab Platform
    Meski TikTok dan YouTube telah memperkuat fitur auto-moderation, laporan SAFEnet (2023) menyebut 60% aduan bullying belum ditangani optimal. Perlu peningkatan transparansi dan responsivitas.
  3. Edukasi Literasi Digital
    Kolaborasi Kominfo dan ICT Watch lewat program #InternetBaik menjadi langkah awal. Di sekolah, materi etika digital perlu diintegrasikan ke pelajaran seperti PPKN.
  4. Penegakan Hukum Progresif
    Meski UU ITE Pasal 27 ayat 3 menjerat pelaku bullying dengan hukuman hingga 6 tahun, LBH Jakarta mencatat hanya 15% korban yang melapor karena proses hukum yang rumit.

Bersama Lawan Bullying
Konten edukasi adalah investasi masa depan. Membiarkan kreatornya terus diteror sama dengan membunuh gairah belajar masyarakat. Upaya kolektif diperlukan: kreator harus bangkit, platform lebih tegas, dan publik aktif mendukung. Seperti disampaikan Najelaa Shihab (pendiri Kampus Guru Cikal), "Edukasi adalah tentang menumbuhkan rasa hormat, bukan sekadar mentransfer pengetahuan."

Referensi:

  1. APJII. (2023). Profil Pengguna Internet Indonesia.

https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang

  1. Suler, J. (2004). The Online Disinhibition Effect.

https://www.researchgate.net/publication/8451443_The_Online_Disinhibition_Effect

  1. Komnas PA. (2023). Laporan Tahunan Perlindungan Anak.

https://www.antaranews.com/infografik/3893148/catatan-komnas-perlindungan-anak-2023

  1. KemenPPPA. (2023). Dampak Cyberbullying pada Kesehatan Mental.

https://jurnal.kopusindo.com/index.php/jipk/article/view/568#

  1. Nature Communications. (2022). Viralitas Konten Negatif di Media Sosial.

https://www.komdigi.go.id/berita/sorotan-media/detail/melindungi-keluarga-dari-konten-negatif-dunia-maya



Tidak ada komentar: