Era digital membuka peluang besar bagi konten edukasi untuk berkembang pesat. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram ramai diisi kreator yang berbagi pengetahuan, mulai dari sains hingga kesehatan mental. Laporan We Are Social 2023 mengungkap, 62,3% pengguna internet Indonesia mengonsumsi konten edukasi secara rutin. Namun, di balik manfaatnya, banyak kreator justru menjadi sasaran cibiran, ujaran kebencian, bahkan ancaman doxxing. Mengapa niat baik berbagi ilmu berujung pada perundungan? Apa dampaknya, dan bagaimana solusinya?
![]() |
Sedang membuat konten edukasi (Pexels.com/River-Augustin) |
Ketika Edukator Jadi Target Bullying
Contoh nyata terjadi pada Maret 2024, ketika dokter muda @DokterAini di
TikTok mendapat hinaan terkait penampilannya, padahal kontennya fokus pada
edukasi kesehatan reproduksi. Kasus serupa menimpa YouTuber sejarah
@NusantaraHistoria yang dituduh menyebarkan "informasi sesat" saat
mengulas dinamika politik era Orde Baru.
Data Survei APJII 2023 menunjukkan, 49,8%
pengguna internet Indonesia pernah mengalami perundungan daring, dengan 34%
korbannya berasal dari kalangan profesional, termasuk edukator. Komnas
Perlindungan Anak (PA) juga mencatat kenaikan 20% laporan
cyberbullying pada 2023, di mana banyak korban adalah kreator konten edukasi.
Mengapa
Mereka Dijadikan Sasaran?
- Efek
"Topeng" Anonimitas
Psikolog John Suler dalam teori Online Disinhibition Effect (2004) menyebut, anonimitas daring membuat orang merasa bebas melanggar norma. "Identitas virtual" memberi keberanian untuk bersikap agresif tanpa takut konsekuensi. - Pertentangan
dengan Keyakinan Audiens
Konten edukasi kerap mengusik keyakinan yang sudah mapan. Misalnya, edukator perubahan iklim kerap dihujani komentar negatif dari kelompok yang menolak fakta ilmiah. Pew Research Center (2021) menemukan, 56% masyarakat AS percaya pada misinformasi iklim—tren serupa terjadi di Indonesia. - Algoritma
yang Mengadu Domba
Konten provokatif cenderung mendapat engagement tinggi, sehingga algoritma media sosial secara tak langsung "memprioritaskan" komentar negatif. Riset Nature Communications (2022) membuktikan, cuitan bermuatan kebencian memiliki peluang 3x lebih besar untuk viral dibanding konten positif. - Proyeksi
Rasa Tidak Mampu
Menurut psikolog Dr. Novi Qonitatin, M.Psi., "Bullying sering muncul dari rasa inferior pelaku. Edukator yang dianggap kompeten bisa memicu kecemburuan."
Dampak
yang Mengkhawatirkan
Bullying tidak hanya menyakiti secara personal, tetapi juga menghambat
distribusi ilmu. Survei KemenPPPA (2023) terhadap 500 korban
cyberbullying mengungkap:
- 45%
mengalami gangguan kecemasan.
- 30%
kehilangan semangat membuat konten.
- 15%
memutuskan menghapus akun media sosial.
"Banyak edukator memilih mundur karena takut dihujat.
Ini ancaman bagi literasi digital," tegas Aulia Putri, konselor dari Into
the Light Indonesia.
Langkah
Solutif, dari Individu hingga Sistem
- Strategi
Bertahan bagi Kreator
- Manfaatkan
fitur penyaring komentar (seperti keyword filter di
Instagram).
- Bentuk
aliansi dengan komunitas pendukung, seperti Sobat Edukasi yang
aktif melaporkan akun perundung.
- Tanggung
Jawab Platform
Meski TikTok dan YouTube telah memperkuat fitur auto-moderation, laporan SAFEnet (2023) menyebut 60% aduan bullying belum ditangani optimal. Perlu peningkatan transparansi dan responsivitas. - Edukasi
Literasi Digital
Kolaborasi Kominfo dan ICT Watch lewat program #InternetBaik menjadi langkah awal. Di sekolah, materi etika digital perlu diintegrasikan ke pelajaran seperti PPKN. - Penegakan
Hukum Progresif
Meski UU ITE Pasal 27 ayat 3 menjerat pelaku bullying dengan hukuman hingga 6 tahun, LBH Jakarta mencatat hanya 15% korban yang melapor karena proses hukum yang rumit.
Bersama
Lawan Bullying
Konten edukasi adalah investasi masa depan. Membiarkan kreatornya terus diteror
sama dengan membunuh gairah belajar masyarakat. Upaya kolektif diperlukan:
kreator harus bangkit, platform lebih tegas, dan publik aktif mendukung.
Seperti disampaikan Najelaa Shihab (pendiri Kampus Guru Cikal),
"Edukasi adalah tentang menumbuhkan rasa hormat, bukan sekadar mentransfer
pengetahuan."
Referensi:
- APJII.
(2023). Profil Pengguna Internet Indonesia.
https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang
- Suler,
J. (2004). The Online Disinhibition Effect.
https://www.researchgate.net/publication/8451443_The_Online_Disinhibition_Effect
- Komnas
PA. (2023). Laporan Tahunan Perlindungan Anak.
https://www.antaranews.com/infografik/3893148/catatan-komnas-perlindungan-anak-2023
- KemenPPPA.
(2023). Dampak Cyberbullying pada Kesehatan Mental.
https://jurnal.kopusindo.com/index.php/jipk/article/view/568#
- Nature
Communications. (2022). Viralitas Konten Negatif di Media Sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar