Beberapa bulan kemudian, Bu Mei merasakan ada yang berbeda. Ia merasa tubuhnya berubah, dan setelah pergi ke tabib, ia mengetahui bahwa ia sedang hamil! Kabar bahagia ini langsung disambut suka cita oleh keluarga Pak Liang dan Bu Mei. Mereka tahu bahwa berkat doa dan berkah Long Wei, permohonan mereka akhirnya dikabulkan. Merekapun selama ini semakin dimudahkan dalam mendapatkan rezeki karena jualan kayu bakar semakin banyak uang yang didapatkannya.
Kandungan Bu Mei dari hari ke
hari sudah mulai tampak membesar. Meskipun Bu Mei sudah cukup tua, kehamilan
ini tetap terasa penuh keajaiban. Keluarga Pak Liang selalu bersyukur kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, memanjatkan doa agar bayi yang akan lahir dan Bu Mei
selalu sehat dan selamat.
Doa mereka ternyata dikabulkan.
Selama masa kehamilan, Bu Mei tetap sehat dan bugar, dan pada akhirnya, seorang
bayi laki-laki lahir pun dalam keadaan selamat dan sehat. Mereka memberi nama
bayi laki-laki itu Jian, dan Jian tumbuh menjadi anak yang tampan dan cerdas.
Saat masih kecil, Jian
menunjukkan kelebihan yang luar biasa dibandingkan anak-anak seusianya. Karena
Jian hidup di tengah hutan tanpa teman bermain, ia hanya bergaul dengan
hewan-hewan hutan yang menjadi teman-temannya. Pada usia lima tahun, Jian jatuh
sakit. Badannya demam tinggi, dan ia sempat tak sadarkan diri. Namun setelah
panasnya reda, ada hal aneh yang terjadi. Di leher dan sebagian wajahnya Jian
muncul sisik seperti sisik seekor ular. Bahkan kadang-kadang, ketika Jian marah
atau menangis, ia mengeluarkan suara desisan seperti ular. Hal ini membuat Pak
Liang dan Bu Mei khawatir dan sedih, tapi Jian tidak terlalu mempedulikannya.
Baginya, itu hanya hal biasa karena ia jarang bertemu teman manusia selain
kedua orang tuanya dan hewan-hewan hutan.
Namun, seiring berjalannya waktu,
Jian menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sorot matanya dan
suara desisan yang keluar ketika ia marah atau menangis ternyata membuat
hewan-hewan di hutan takut padanya. Suatu hari, saat ada seekor hewan liar yang
hendak menyerangnya, Jian lari sambil menangis. Ajaibnya, suara tangisan Jian
yang disertai desisan panjang justru membuat hewan liar itu lari ketakutan.
Kejadian ini berulang-ulang, dan Jian semakin sadar bahwa dirinya memiliki
kekuatan yang luar biasa.
Keluarga Pak Liang dan Bu Mei
mulai menyadari perubahan besar dalam diri Jian. Mereka merasa bangga, tetapi
juga khawatir. Mereka takut jika kekuatan itu disalahgunakan, bisa membawa
petaka. Oleh karena itu, Pak Liang dan Bu Mei berusaha mendidik Jian dengan
baik, mengajarkan nilai-nilai kebaikan agar ia bisa menggunakan kekuatannya
untuk hal-hal yang positif.
Tahun demi tahun berlalu, dan
Jian tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan, meskipun masih memiliki sisik
di leher dan kadang-kadang mengeluarkan suara desisan. Pak Liang dan Bu Mei
kini sudah mulai menua, tubuh mereka semakin lemah. Jian yang kini dewasa,
dengan penuh kasih, membantu orang tuanya dalam segala hal. Kebiasaan mereka
yang dulu menjual kayu bakar ke pasar sudah tidak dilakukan lagi. Mereka kini
memilih bercocok tanam dan berburu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka
ingin hidup sederhana dan menjaga agar kekuatan Jian tidak diketahui oleh
masyarakat sekitar.
Meskipun begitu, Pak Liang dan Bu
Mei selalu mendidik Jian dengan penuh kasih dan kesabaran, mengajarkan
nilai-nilai baik yang dapat membantu Jian ketika ia menjadi bagian dari
masyarakat. Mereka ingin Jian tumbuh menjadi pemuda yang bijaksana dan berbakti,
baik kepada keluarganya maupun kepada orang lain.
Singkat cerita, setelah Jian
dewasa, kedua orang tuanya yang sudah tua akhirnya meninggal dunia. Jian merasa
sangat kehilangan, tapi ia tetap melanjutkan hidup dengan cara yang biasa:
bercocok tanam, berburu, dan mencari ikan serta buah-buahan di hutan. Meski
kadang kesepian, Jian selalu merasa bahwa hewan-hewan hutan adalah teman
terbaiknya, bahkan mereka sering membuatnya tertawa.
Suatu hari, saat Jian sedang
mencari hewan buruan, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari kejauhan. Ada
teriakan manusia dan derap kaki kuda yang semakin mendekat. Jian buru-buru
bersembunyi di balik semak-semak untuk mengintip. Ia mengerutkan dahi dan hampir
tertawa kecil saat melihat beberapa orang menunggang kuda, mereka tampak panik
dan bingung. "Ada apa nih? Kok kelihatan buru-buru banget?" pikir
Jian sambil menyembunyikan senyumnya.
Ternyata, orang-orang itu membawa
seorang pria yang terikat dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berhenti di
dekat tempat persembunyiannya dan mulai melepaskan pria itu, bersiap untuk
menyiksanya. Jian yang tidak bisa diam, langsung melompat keluar dari
persembunyiannya. Tapi saat ia hendak berlari, kakinya tersandung akar pohon!
Plung! Jian terjatuh tepat di depan para penculik. Pria yang terikat itu malah
tertawa kecil melihatnya, "Wah, ternyata pahlawan kita terjatuh
duluan!" gumannya sambil terbatuk-batuk.
Namun, Jian tak merasa malu. Ia
bangkit dan, dengan kekuatan luar biasa, berhasil mengalahkan para penculik.
Meskipun ia sempat menggoda mereka dengan kalimat seperti, "Lihat, saya
pahlawan yang terjatuh tapi tetap menang!" Jian membawa pria yang telah
diselamatkan itu ke rumahnya dan merawat luka-lukanya.
Ternyata, pria yang telah
diselamatkan itu adalah seorang pangeran muda, putra mahkota kerajaan yang
telah diculik oleh kelompok pemberontak. Kelompok pemberontak itu berhasil
menggulingkan raja dan keluarganya, dan dalam pelariannya, sang pangeran tertangkap.
Untungnya, Jian datang tepat waktu, meskipun sebelumnya sempat tersandung
beberapa kali di jalan pulang!
Beberapa hari kemudian, setelah
sang pangeran sembuh, ia mengajak Jian untuk membantu merebut kembali istana
dari para pemberontak. Pangeran yakin bahwa dengan kekuatan Jian, mereka bisa
mengusir pemberontak dan mengembalikan kerajaan ke tangan yang sah. Jian
setuju, dan perjalanan menuju istana pun dimulai. Di tengah perjalanan, Jian
sempat tertidur sambil berjalan, hingga pangeran terkejut melihatnya dan hampir
berteriak, "Jian! Jangan tidur saat kita berperang!" Jian pun
terbangun sambil tertawa, "Tenang, saya cuma lagi nge-charge energi,
kok!" jawabnya santai.
Pertempuran antara pasukan setia
kerajaan yang dipimpin oleh Jian dan para pemberontak berlangsung sengit, namun
ada momen lucu ketika Jian menggunakan kekuatannya untuk mengusir pemberontak.
Dengan semburan beracun seperti ular, Jian membuat pemberontak lari ketakutan.
Beberapa pemberontak yang berani mendekat justru terjatuh ke dalam lubang yang
digali oleh Jian sebelumnya—tanpa sengaja, tentu saja! "Aduh, saya kira
itu jebakan untuk tentara musuh, bukan untuk kita!" teriak salah satu
pemberontak yang kebingungan.
Pada akhirnya, pemberontak
menyerah dan meninggalkan istana. Pangeran yang selamat diangkat menjadi raja
muda, menggantikan ayahnya yang gugur dalam pemberontakan. Sebagai tanda terima
kasih atas keberanian dan bantuan Jian, Raja muda mengangkat Jian menjadi
Panglima Perang kerajaan. Ketika diumumkan, seluruh kerajaan tertawa bahagia,
karena Jian yang terkenal bukan hanya karena kesaktiannya, tetapi juga karena
kelucuan dan keberaniannya dalam menghadapi situasi sulit. Raja muda bahkan berkata, "Jian, kau bukan
hanya pahlawan, tapi juga penghibur kerajaan ini!"
Panglima Perang Jian pun menjadi
sangat terkenal di kerajaan. Lehernya yang bersisik naga menjadi ciri khas yang
membuatnya dihormati oleh banyak orang. Bahkan, kerajaan-kerajaan lain pun
menghormati Jian, dan kerajaan yang dipimpinnya pun semakin makmur dan
sejahtera, berkat kebijaksanaan dan sedikit kelucuan yang selalu Jian bawa ke
dalam hidup mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar